Showing posts with label softcore. Show all posts
Showing posts with label softcore. Show all posts

Saturday, May 25, 2013

Namanya Anku

Namanya Anku. Gagah tapi sedikit rapuh, merantau dari keteduhan kota kecilnya di pelosok Sumatera. Sudah 3 Tahun Anku kelana di ibukota ini. Pendidikan tingginya digeluti dengan biaya seadaanya. Keberuntungan satu-satunya ia peroleh dari pamannya dengan memberikan tempat berteduh sangat seadaanya.

Anku tidak memiliki keistimewaan, ia seperti pada umumnya. Wajah yang biasa, daya pikir cenderung menurun dan karakter berubah-ubah. Sebaliknya ia menyadari keadaan ini, sangat! Sering Anku sesali kelebihan yang tidak ia miliki layaknya orang-orang yang dikagumi.

Tante Cesty tinggal di komplek perumahan di bilangan H***** kota Jakarta. Ibu satu anak ini, bertetangga dengan paman Anku dan dikenal cukup dekat dengan tetangganya.
Dengan penghasilan suaminya yang cukup membuat Tante Cesty banyak kegiatan yang sia-sia mengisi kekosongan waktunya.

Seperti hari ini Tante Cesty memanfaatkan Anku membawa belanja rumah selepas menjemput Kori di SMA ***. Selang beberapa waktu mereka terlihat asyik meneguk minuman juice diruang makan keluarga. Kori Dan Tante Cesty Ramah duduk di sofa biru bersenda gurau dengan Anak semata wayang yang mulai beranjak dewasa, Sedangkan Anku duduk di Karpet Itali bermotif Abstrak memperhatikan tingkah polah mereka.

Tante Cesty hari ini terlihat sedikit ceria dengan baju long dress semi transparent dan bercorak cerah, ditambah potongan pada lengan dan belahan pada paha membuat bersinar kulit putih tubuh rampingnya.

Berkali-kali Anku melirik ke-arah jepitan lengannya. Sisi luar buah dada dan kemulusan sela-sela lengannya berulang membuat Anku bernafas dengan berat. Tante Cesty sendiri menanggapi dengan wajar atau keadaan ini memunculkan sisi liarnya. Ukuran celana boxer yang dikenakan Anku tidak dapat menutupi sirat hatinya, hal ini membuat Anku menjadi terpojok, Karena tidak dapat menahan gelisah, Anku pamit untuk kebelakang melanjutkan perbaikan talang air yang di minta Tante Cesty kemarin lalu.

Usai makan siang Kori Pamit pergi kerumah kerabat keluarga mereka, Anku terlihat masih sibuk dengan pekerjaan dibawah sengatan matahari, Tidak berapa lama Tante Cesty meminta Anku menghentikan pekerjaannya sejenak untuk makan siang. Makan Siang ditemani Tante Cesty bukanlah yang menyenangkan bagi Anku, rasa malu dan hormat menimbulkan kejengahan pada Anku.

Tepat di sebelah Anku Tante Cesty sedang memainkan pisau membentuk lingkaran pada buah apel ranum. Topangan tangan Tante Pada meja menampakan belahan luar payudara kiri Tante Cesty, pandangan ini tak luput dari sorotan Anku. Lirikan polos Anku tertangkap di sudut mata Tante Cesty, dengan sunggingan kebanggaan Tante Cesty sedikit merubah posisi duduknya sedikit menghadap Anku dan tangan kiri letakan pada senderan bangku Anku. Namun tangan Tante Cesty masih lincah mengupas apel yang tidak akan digigit. Anku menyadari Posisi Tante Cesty memberikan pandangan yang lebih jauh menarik, tapi kenikmatan ini tidak di peroleh Anku karena rasa polos dan takut masih menjadi raja di hatinya.

"Dasar Laki-laki Munafik" teriak Anku, dalam hati tentunya.
"Akh.. Seperti apa bentuk lekukan payudara ini?" rasa penasaran menghampiri Anku.

Payudara ukuran 34b milik Tante Cesty terlihat masih menantang menghadap Anku, Tante Cesty tentunya mengerti gejolak pada diri Anku, ini menambah rasa penasaran untuk mempermainkan Anku.

"Hallo, Pak kendro! Selamat pagi, bisa disambungkan dengan Anku." Suara diseberang sana menyahut dengan ramah.

Anku duduk di tepi kasurnya dengan rokok terselip di jari tengah. Rasa bimbing menghantuinya, baru saja Tante Cesty menelepon kerumah pamannya, meminta bantuan Anku memindahkan barang. Kegugupan Anku menghadapi Tante Cesty merupakan beban terberat untuk mengunjungi kediaman Tante, Apalagi kecurigaan keluarga pamannya akibat keseringan Anku mengunjungi tetangga mereka pada jam-jam suami Tante sedang berada diluar rumah.

"Apalagi sekarang Tante hanya ditemani Mbok Suli?" Ujar Anku.

Dengan berat Anku terlihat mengunci pagar rumah pamannya dan jalan dengan pelan ke arah rumah Tante Cesty. Masih terbayang dalam benak Anku kejadian di meja makan yang memporak-porandakan harga dirinya sebagai laki-laki, sepertinya Anku bertekad setidaknya memperoleh sesuatu dari kesempatan yang ada, untuk melepaskan mimpi buruk karena rasa penasarannya.

Tante Cesty menyambut kedatangan Anku dengan Suka cita. Seperti kemarin Tante Cesty memakai baju longdress bertali sedikit longgar dengan belahan berbentuk V, memperlihatkan belahan dada bagian depan dan sisi luarnya. Lantas menarik Anku ke kamar belakang yang jarang di gunakan. Tante Cesty menunjuk ke arah lemari bagian atas yang terdapat barang-barang tidak dipakai. Anku cukup paham maksud Tante Cesty setelah Tante Cesty Keluar untuk menyiapkan minuman segar, Anku melepas celana panjang. Karena pekerjaan yang sangat berdebu Anku memilih memakai celana boxernya. Karena Anku tidak terbiasa dengan celana dalam, sehari-hari celana boxer sebagai pengganti celana dalam yang selalu membatasi ruang geraknya.

Tidak berapa lama Tante datang membawa dua buah gelas berisi soft drink, Tante melihat Anku dengan berdiri diatas kursi berusaha memindahkan barang-barang yang lumayan berat di tengah tumpukan debu dan ampas kayu. Pandangan ini membuat panas tengkuk Tante Cesty. Bertelanjang dada dan bercelana pendek memperlihatkan imajinasi kekuatan lelaki. Ini merupakan pandangan yang menarik, karena tinggi dan besar tubuh Anku terasa berbeda bagi Tante Cesty. Sebaliknya Tante Cesty bertubuh sedikit mungil dan langsing. Hanya kemontokan payudara dan padat pinggulnya yang menciptakan kesan ramping tubuhnya menjadi sirna. Suami Tante Cesty pun tak jauh berbeda, dia hanya 10 cm lebih tinggi dari Tante Cesty dengan tubuh yang terlihat rapuh. Tidak dapat di pungkiri kondisi ini Cukup mendekati kejenuhan pada Tante Cesty.

Lama Tante Cesty berdiri termangu di depan pintu kamar, sambil memegang nampan bola matanya menelusuri tiap lekuk tubuh Anku.

"Sudah 3 bulan Aku mengenalnya, baru sekarang menyadari kokoh tubuh Anku" Ujarnya.

Pemandangan ini membuat Tante Cesty betah berlama-lama menemani Anku bekerja, dengan berpura-pura membantu Tante memandangi terus dengan sepuas-puasnya.

"Guci itu biar Tante bawa saja", sahut Tante Cesty.

Dengan sigap ia menyambut guci mini itu dari tangan Anku. Lalu Tante Cesty berjalan dengan sedikit membungkuk melintasi celah antara Anku dengan lemari, sedetik kemudian Tante Cesty terkejut dan mukanya serasa panas, 'Ah apa yang menerpa kepalaku tadi?' pertanyaan bertubi menghampirinya. Tanpa disadarinya pada saat ia melintas, sesuatu di bagian celana Anku menampar bagian kepalanya, dan benda tersebut sepertinya besar dan cukup berat. Dengan rasa ingin tahu Tante ingin mencoba lagi dengan alasan ruang tempatnya berdiri cukup sempit, dengan perlahan Tante melintas seperti tadi, bedanya kali ini berjalan cukup pelan sehingga ia memiliki kesempatan untuk menebak lebih jelas, benda apa yang menyetuh kepalanya.

Dengan wajah bersemu merah Tante Cesty seperti menemukan jawaban yang dicarinya. Di lain sisi Anku masih terlihat sibuk dengan barang dan debu, keadaan dibawahnya di luar kesadarannya. 2 jam waktu yang cukup mengerjakan perintah Tante Cesty, dengan tubuh berselimut debu Anku menyusuri lorong samping kediamaan Tante Cesty, menuju kolam ikan belakang 'tuk sejenak beristirahat ditemani segelas juice yang telah diisi ketigakalinya.

Tanpa sepengetahuan Anku Tante Cesty pergi ke kamar tidur, menenangkan dirinya. Sepertinya kejadian di kamar belakang tadi masih sangat menghantuinya. Rebahan di atas kasur berbulu angsa yang lembut belum dapat menenangkan gemuruh hatinya, mendinginkan hawa disekitar leher dan kuping juga meredakan irama nafas yang bergemuruh. Bersamaan Tante Cesty merubah posisi tidurnya, mata indah Tante menelusuri kolam ikan yang bertepatan disamping kamar tidur di batasi tembok berjendela besar dengan jarak sekitar 5 meter, ia melihat Anku duduk di gazebo teduhnya, sedang menikmati kesegaran minuman. Lama Tante memperhatikan sosok Anku, Selama Anku memikirkan kelanjutan studynya.

Anku terduduk dengan lesu telah ketiga kalinya ia terpaksa cuti dari kegiatan akademik. Anku belum menemukan jawaban memperoleh sejumlah uang untuk mengaktifkan kembali studinya. Berkali-kali ia melamar pekerjaan ada beberapa yang di jalani dengan hasil sebaik tanpa pekerjaan, mungkin tanpa relasi, modal dan skill tidak mungkin memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak.

Beban seperti ini acap kali membuat Anku berputus-asa dan bermalas-malasan, mungkin saat ini Anku tidak dapat memutuskan kelanjutan hidupnya esok harinya. Dengan kaki gontai Anku melangkah menuju pancuran air disebelah kolam yang biasa digunakan untuk mencuci kaki. Tapi kali ini Anku tidak memanfaatkan pancuran tersebut sebagaimana mestinya, ia hendak buang air kecil karena toilet yang tersedia di rumah ini cukup banyak namun letaknya cukup jauh dari halaman belakang tempat kolam ikan.

Masih menggunakan celana boxer kebiasaannya, memudahkan Anku mengeluarkan desakan di bawah perutnya. Seandainya ia mengetahui pancuran tersebut berada bersebelahan dengan kamar utama tempat peristirahatan Tante Cesty, tentu Anku tidak akan berani berbuat hal tersebut. Anku terlihat lega melepaskan hajat kecilnya. Pada saat bersamaan Tante Cesty masih memejamkan matanya tidak untuk tidur akan tetapi menenangkan kegelisahan hatinya, baru saja Tante merasakan keredaan ini, mata beningnya terlepas dari pejaman yang lama, menyaksikan sosok Anku dengan bertelanjang dada dan kaki yang sedikit terbuka dengan kedua tangan menggenggam batas celana yang turun setinggi paha.

Perasaan yang tadi sudah cukup tenang serasa berdebar kencang dan mengisi setiap ruang dalam tubuhnya. Hanya indera pengelihatan yang bekerja sangat sempurna untuk menterjemah tiap bentuk dari sosok di depan mukanya yang hanya berjarak 4 meter selebihnya bagian tubuh yang lain dari Tante Cesty terasa hilang. Terjawab sudah teka-teki yang tadi menghantui Tante Cesty, mungkin jawaban ini sudah saatnya tiba.

Perasaan yang baru pertama kali ini Tante rasakan terus berkembang ke arah yang tidak dapat ia terka, sampai keadaan ini mengembalikan ingatan Tante Cesty kepada keresahan yang melanda setelah kelahiran anak semata wayangnya. Kenyataan pahit yang selalu di terima Tante Cesty dari waktu ke waktu di anggap sebagai tumbal terhadap kehidupan yang makmur. Suami yang telah memenuhi kehidupan hidupnya dengan segala bentuk harta belum mampu memenuhi keinginan liarnya, persenggamaan yang dilakukan dengan berkala sangat menghimpit jiwanya, kemampuan suami sangat jauh dari kebutuhan fantasi-fantasi binalnya.

Menyadari bahwa sesungguhnya sang suami hanya melakukan tugas sebagaimana ia bertugas memenuhi kebutuhan keluarga. Sungguh Tante Cesty menikmati setiap sorotan matanya, walaupun ini belum dapat melepas dahaganya tapi serasa cukup membasahi kekeringannya. Cukup puas Tante memandang keindahaan durjana sudah terekam dalam ingatan, seperti apa bentuk kejantanan Anku.

Sangat jauh berbeda dengan benda yang pernah digenggam sebelumnya. Batangnya yang besar dan berwarna cokelat gelap, di hiasi urat-urat sebesar anak korek api menjalar keseluruh senti dari batangnya, bagaikan akar pohon beringin yang mencekeram bumi. Yang paling menyesakkan dada, bentuk kepala zakar lebih besar seakan memayungi batang kokohnya, dengan lubang yang sempit hampir membelah kepalanya. Besar keinginan Tante Cesty untuk meraba kejantanan kokoh itu, apakah tangan mungil dan halus miliknya mampu menggenggam keperkasaan benda yang di tumbuhi bulu-bulu tercukur rapi, sangat menggelitik keingin-tahunya.

- Tamat -
Read More

Thursday, May 23, 2013

Dokter Shinta Bertugas Di Desa Terpencil

Latar Belakang

Shinta adalah seorang dokter muda. Dia baru saja menamatkan pendidikannya pada sebuah universitas ternama di Sumatera. Selain kecerdasannya yang mengantarkan dirinya meraih gelar dokter. Shinta juga merupakan gambaran profil generasi muda masa kini. Disamping sebagai gadis yang sangat cantik, Shinta yang berusia 24 tahun ini juga lincah dan intelek dan dikenal oleh teman-temannya sebagai gadis yang cinta lingkungan dan masalah sosial budaya. Dia sangat senang dengan petualangan alam.

Selama 2 tahun terakhir di kampusnya Shinta dipercaya teman-temannya menjadi Ketua Group Pecinta Alam. Sangat kontras memang. Dilihat dari penampilan fisiknya yang demikian cantik dan lembut Shinta adalah ahli bela diri Kung Fu pemegang sabuk hitam. Disamping itu dia juga sebagai pemanjat tebing yang handal dan juga beberapa kali telah mengikuti kegiatan arung jeram dengan menelusuri sungai-sungai ganas di seputar Sumatera.

Sebagaimana dokter baru ia harus menjalani masa PTT pada sebuah desa yang jauh dari tempat tinggalnya. Reaksi orang tuanya dalam hal ini ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat mendengar bahwa dia harus bertugas di desa terpencil itu. Ibu Shinta sangat menyayangi Shinta. Beliaulah yang terus mendorong sekolah Shinta hingga lulus menjadi dokter. Orang tua Shinta cerai saat Shinta masih kecil. Sampai tamat dokter Shinta mengikuti ibunya. Shinta tak pernah kenal dan tahu bagaimana dan dimana ayahnya sekarang.

Selain jauh dari kotanya daerah itu masih sangat terbelakang dan terisolir. Bayangkan, untuk mencapai daerah itu orang harus seharian naik bus antar kota, kemudian disambung dengan ojek hingga ke tepian desa yang dimaksud. Di desanya sendiri yang sama sekali tak ada sarana transportasi juga belum terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV dan belum ada sambungan pesawat telpon maupun antene repeater untuk penggunaan hand phone.

Ibunya minta pamannya yang adik kandung ibunya bersama Rudi tunangannya untuk menyempatkan diri meninjau langsung desa itu. Sepulang dari desa tersebut mereka menyatakan bahwa betapa berat medan yang akan dihadapi oleh Shinta nantinya. Mereka khawatir dan cemas pada Shinta yang rencananya pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi. Shinta dan Rudi telah bertunangan selama hampir 2 tahun. Rudi sendiri adalah seorang insinyur pertanian yang telah bekerja di Dinas Pertanian Kabupaten. Tetapi semua kecemasan dan kekhawatiran orang tua dan tunangannya itu tidak terlampau ditanggapi oleh Shinta.

Untuk lebih menghayati cerita selanjutnya, biarlah Shinta sendiri yang menceriterakan kisah yang dialaminya sebagaimana yang tertera di bawah ini,

Cerita Shinta

Aku sendiri justru sangat tertantang oleh kondisi desa itu. Idealisku muncul dan mendorong aku untuk terus maju saat kupelajari keadaan geografi, sosial demografi dan sosial ekonomi dan budaya lokal masyarakat desa itu. Aku berketatapan hati tak akan mundur oleh tantangan yang sungguh romantik itu. Aku ingin bisa membagi ilmu dan pengetahuanku dan ketrampilan serta pengalamanku bagi masyarakat di desa itu. Aku ingin bisa mengabdikan diriku pada mereka yang serba kekurangan dan penuh keterbelakangan itu. Dan pada akhirnya karena sikapku yang cerah dan tegar maka baik ibu maupun tunanganku mendukung PTT-ku di desa terpencil itu.

Setelah melalui 1 hari perjalanan yang melelahkan dengan diantar oleh paman dan Mas Rudi aku sampai di desa penuh tantangan itu. Kami di sambut oleh perangkat desa itu dan kepala dusun. Seorang tetua yang juga kepala dusun yang bernama Pak Tanba secara spontan meminjamkan salah satu ruangan di rumahnya untuk kubuat poliklinik sederhana.

Sesudah 2 hari membuat persiapan tempat praktek dokter dan acara peresmian ala kadarnya aku diterima resmi oleh masyarakat sebagai dokter di desa itu. Aku juga akan memberikan pelayanan kesehatan ke desa-desa di sekitar desaku. Dengan pesan-pesan serta berbagai wanti-wanti, paman bersama Rudi pulang kembali ke kota dengan meninggalkan aku yang telah siap untuk memulai tugasku. Sesaat sebelum beranjak aku memandangi Rudi. Dari matanya aku membaca kerinduan yang hinggap. Dia akan rindu kapan akan kembali saling membelai. OK, Rud. Ini khan hanya untuk waktu 6 bulan. Dan kita akan menikah sesudahnya, bukan?!

Pada hari pertama aku diajak keliling desa oleh Pak Tanda bersama aparat desa untuk dikenalkan kepada masyarakat desa itu. Pada hari-hari selanjutnya aku menunggu masyarakat yang memerlukan bantuanku di poliklinik. Apabila diperlukan aku juga akan mendatangi pasien yang tidak mampu mengunjungi tempat praktekku. Hari-hari pertama bertugas aku dibantu oleh kader kesehatan yang telah aku beri pelatihan sederhana. Pada saat yang sangat diperlukan Pak Tanba bersedia membantu untuk mengantar aku melayani panggilan dari masyarakat.

Orang-orang desa itu telah mafhum akan kelebihan Pak Tanba. Dia sangat akrab dan disenangi masyarakat di sekitarnya. Dia merupakan orang yang paling kaya untuk ukuran desa itu namun sama sekali tidak menunjukkan kesombongan. Dengan usahanya selaku pengumpul hasil bumi Pak Tanba bisa memiliki beberapa rumah di desa itu dan beberapa lagi di desa sekitarnya.

Yang lebih hebat lagi, Pak Tanba yang usianya sudah lebih 65 tahun itu mampu memiliki 3 orang istri. Artinya disamping mampu dalam arti materiil, Pak Tanba juga memiliki kemampuan lahiriah yang sangat baik. Tubuhnya masih nampak sehat dan tegar dan selalu siap melakukan kewajibannya untuk memberikan nafkah lahir batin kepada para istrinya. Wajahnya yang keras tetapi penuh wibawa memberikan kesan 'melindungi' pada siapapun yang dekat dengannya. Dan memang demikianlah, Pak Tanba orang yang ringan tangan dan kaki untuk memberikan pertolongan pada orang lain, pada masyarakat desanya atau siapapun.

Istri-istri Pak Tanba boleh dibilang bukan perempuan sembarangan. Istri pertamanya Rhayah, usianya telah 57 tahun. Dialah 'permaisuri' sesungguhnya dari Pak Tanba. Dari Rhayah lahir 3 anaknya yang telah dewasa dan berumah tangga. Pada Rhayah, Pak Tanba menunjukkan bagaimana dirinya sebagai suami yang selalu memberikan nafkah lahir bathin tanpa pernah pilih kasih pada yang lebih muda atau lebih cantik.

Istri ke 2-nya adalah Siti Nurimah. Seorang janda dari desa yang cukup jauh dari desanya. Siti Nurimah adalah perempuan yang memiliki toko klontong di desanya. Dari Nurimah Pak Tanba memiliki 2 orang anak yang masih bersekolah. Nurimah sangat baik hatinya. Dia tak pernah menunjukan iri atau cemburu pada istri Pak Tanba yang lain.

Kemudian istrinya yang terakhir masih sangat muda. Umurnya 19 tahun. Dia masih perawan saat dikawini Pak Tanba. Karena jasa Pak Tanba pada keluarganya, Halimah demikian namanya yang berperangai halus dan cantik itu rela menjadi istri ke 3 Pak Tanba. Sikapnya selalu hormat pada Pak Tanba dan para istrinya yang terdahulu. Sehari-hari Halimah adalah guru SD di desanya. Saat ini Halimah sedang mengandung 9 bulan. Diperkirakan dia akan melahirkan dalam waktu dekat ini.

Aku sering berpikir bahwa koq ada orang macam Pak Tanba. Pendidikannya yang rendah, dia hanya tamatan SD, tidak membuatnya menjadi orang kecil. Aku menilai Pak Tanba adalah 'orang besar' dalam arti sesungguhnya. Dia orang yang selalu pegang komitmen, terlihat pada bagaimana hubungannya dengan para istrinya. Dia juga seorang yang pekerja keras dan senang melakukan kegiatan sosial demi kebahagiaan orang banyak. Tak pernah aku mendengar keluhannya selama dia membantu tugas-tugasku. Dia selalu menunjukkan kegembiraannya.

Dan yang juga aku kagumi, dia jarang lelah atau sakit. Dia nampak selalu sehat. Tubuhnya sendiri yang nampak cukup gempal kondisinya sangat segar tanpa penyakit. Dengan rambutnya yang masih hitam dan tebal, giginya yang tetap utuh di tempatnya dan sorot matanya yang demikian energik, sepintas orang yang melihatnya akan terkesan umur Pak Tanba paling sekitar 50 tahunan. Atau lebih muda 15 tahun dari umur yang sebenarnya. Dan satu hal yang mungkin membuatnya mudah mendapatkan istri, tampang dan gayanya yang simpatik. Tidak tampan tetapi enak dilihatnya.

Dalam kegiatannya selaku pengumpul hasil bumi Pak Tanba banyak berkeliling ke desa-desa disekitarnya dengan mengendarai sepeda motor. Di saat tak ada kegiatan dengan senang hati Pak Tanba juga meminjamkan motornya kepadaku untuk keperluan mendatangai pasienku yang tinggal jauh dari desa. Bahkan apabila keadaannya sangat genting Pak Tanba turun tangan sendiri membantu aku dengan memboncengkan menuju ke tempat tinggal pasienku.

Pelayanan kesehatan di tengah-tengah masyarakat desa yang terpencil ini boleh dibilang tidak mengenal waktu. Beberapa kali aku harus menerima panggilan dari pasienku jauh di tengah malam. Dan tentu saja hanya dengan bantuan Pak Tanba aku bisa memenuhi panggilan dan kewajibanku itu.

Tak terasa kegiatanku yang terus merangkak telah memasuki bulan ke 4. Aku telah mengenal dan dikenal banyak orang di desaku maupun desa-desa disekitarnya. Selama itu pula Pak Tanba telah menunjukkan betapa dia telah membantu aku dengan tidak tanggung-tanggung demi kesejahteraan serta kesehatan masyarakat di desanya. Aku benar-benar respek dengan 'goodwill'-nya Pak Tanba ini. Bahkan aku sering merasa terharu manakala dalam mengantar aku sering mendapatkan berbagai kesulitan. Terkadang ban motornya yang meletus, atau mesin yang ngadat sehingga tak jarang dia mesti menuntun motornya dengan berjalan kaki dalam jarak yang cukup jauh.

Dalam kesempatan yang lain kami sering terjebak dalam jalanan yang licin bekas hujan. Dengan terseok-seok dia mesti mendorong motornya melewati lumpur dan beberapa kali terpeleset jatuh hingga pakaiannya belepotan lumpur. Aku sendiri tak bisa berbuat banyak pada kondisi macam itu. Yang kumiliki hanyalah rasa iba yang tak mungkin berbagi padanya.

Di lain pihak kami berdua sering menrasakan suatu kepuasan batin. Manakala upaya menolong orang sakit atau sesekali ibu-ibu yang melahirkan dan semuanya berakhir dengan selamat dan sukses kami sungguh merasa sangat bahagia. Terkadang kebahagiaan itu kami ungkapkan dengan sangat spontan. Kami saling berpelukan karena perasaan bahagia atas sukses yang begitu banyak menuntut pengorbanan.

Dari berbagai macam hal yang penuh suka duka macam itu hubunganku dengan Pak Tanba menjadi semakin emosional. Kami bukan semata berhubungan dengan tugas atau kewajiban semata. Tetapi kami semakin merasakan apa yang membuat Pak Tanba senang atau susah akupun ikut merasakan senang atau susahnya. Demikian pula sebaliknya.

Terkadang terlintas dalam pikiranku, alangkah bahagianya istri-istrinya memiliki suami macam Pak Tanba yang sangat 'concern' pada peranannya sebagai suami maupun sebagai manusia yang merupakan bagian dari manusia lainnya. Sungguh langka seorang suami macam Pak Tanba.

Aku sendiri merasakan betapa 'adem' saat Pak Tanba hadir di dekatku. Perasaan yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Seakan didekatku ada pelindung. Ada yang memperhatikan dan membantu saat aku mendapatkan masalah. Adakah begitu yang diberikan seorang 'ayah' pada putrinya? Adakah aku merindukan 'ayah' yang hingga kini aku tak pernah mengenal dan tahu dimana keberadaannya? Perasaan 'menyayangi' secara tulus, aku menyayangi Pak Tanba dan Pak Tanba menyanyangi aku merupakan wujud nyata yang mengiringi setiap kebersamaanku dengan dia.

Dan anehnya, ini aku akui, aku resah kalau tak ada Pak Tanba. Aku gelisah kalau tak berjumpa dengannya. Misalnya aku kehilangan konsentrasi kerja saat dia sedang menggilir istrinya barang 1 atau 2 hari. Aku sering merenungi kenapa perasaanku aku jadi sangat tergantung pada Pak Tanba. Dan perasaan resahku itu semakin dalam dan mendalam dari hari ke hari.

Pada suatu malam, sekitar pukul 9 malam ada orang dari desa sebelah bukit dan ladang yang datang. Istrinya sedang diserang demam dan meracau. Dia panik dan kemudian dengan ditemani tetangganya dia mendatangi aku minta pertolongan. Kebetulan saat itu ada Pak Tanba yang baru pulang dari mengurus dagangan hasil bumi dari desanya. Tanpa menunjukkan kelelahan atau kejenuhan Pak Tanba menyarankan agar aku lekas mengunjungi orang sakit itu. Dia siap untuk mengantar aku. Sesudah menanyakan letak rumahnya secara jelas dia minta pamit untuk mendahului pulang. Dengan berjalan kaki mereka bisa memotong jalan hingga kemungkinan dia akan lebih dahulu sampai dari pada aku. Mereka akan menunggu kami di pintu desa.

Sesudah aku menyiapkan alat-alat yang diperlukan kami berangkat ke desa yang dimaksud. Aku melihat langit begitu gelap. Sesekali nampak kilat menerangi pepohonan.

"Wah, ini mau hujan kelihatannya, Pak Tanba ",
"Iya nih, Bu dokter, Mudah-mudahan nantilah hujannya sesudah semua urusan rampung",

Namun aku tak khawatir. Selama Pak Tanba ada di dekatku sepertinya segala hambatan hanya untuk dia. Dia akan menghadapinya untuk aku. Karena jalan desa yang tak mulus macam di kota, aku harus erat-erat memeluk pinggang Pak Tanba agar tak terlempar dari boncengan motornya. Memang demikianlah setiap kali kami berboncengan. Dan kalau badan yang seharusnya tidur ini masih harus bepergian, maka kantukku kusalurkan dengan menempelkan kepalaku ke punggung Pak Tanba. Dia nggak keberatan atas ulahku ini.

"Tidur saja Bu dokter, jalannya masih cukup jauh".

Perjalanan itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau jalanannya macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka yang menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami lewati. Aku mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang diperlukan. Kepada suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku berkesempatan memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan banyak makan sayur dan buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu. Bagaimana mencuci bakal makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan terlalu asyik dengan ikan asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang benar. Perhatikan kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba ikut melengkapi omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku, akhirnya dia juga menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada penduduk itu.

Saat pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi suara guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih. Pak Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di pedesaan yang dingin terasa menerpa tubuhku.

Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai jatuh. Lampu motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti jarum-jarum berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya dan lebih menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan dan menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.

Hujan memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak Tanba agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang bersifat kering. Ada 'amben' dari bambu yang tidak luas sekedar cukup untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.

"Sini Pak, cukup ini buat berdua,"

Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.

"Ibu kedinginan?"
"Iyalah, Pak.." sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.

Untuk beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.

Aku nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat dia merasa senang di dekatku.

Tiba-tiba dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat lelah. Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung malas. Aku cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena pakaianku yang basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat dingin merasakan bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku. Bahkan kemudian aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan kecupan itu juga dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit menghindar.

"Aiihh.." desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.

"Bb.. Bu dokteerr.." desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
"Buu.." kembali desis itu.
Dan aku hanya, "Hhmm.."

Aku nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku menyayanginya juga karena adanya rasa 'damai dan terlindungi' saat dia berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada seorang lelaki yang begitu 'concern' akan nilai tanggung jawabnya. Aku menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.

Adakah aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang usianya mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum pernah kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku? Sementara aku masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir dengan halus melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung membuat darahku berdesir.

Jantungku tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak pula oleh denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku untuk berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan kiri Pak Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya merangkul untuk kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba kemudian mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.

Kemudian juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak tertahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini. Tetapi aku tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku menggelinjang berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung disergap rasa dahaga yang amat sangat.

Dengan sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik leher dan menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh.. Apa yang telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..

Seperti burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir kuat dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku ingin dia benar-benar melumatku habis.

Aku mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya. Kami saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya malam pedesaan itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin pakaianku mengering karena panas tubuhku kini.

"Mmmhh.." desahnya.
"Mllmmhh.." desahku.

Aku tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak Tanba merebahkan tubuhku ke 'amben' bambu itu sambil mulutnya terus melumati bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya untuk aku bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang tertimpa bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan cepat menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora menggelitik saraf-saraf libidoku.

Kemudian kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak Tanba sesaat melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian mengobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..

Leherku mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi kecupan dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku beranikan menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat tepian desa ini.

"Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. ".

Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut pula blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.

Dia 'cokot'i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku. Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan turun lagi.. Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku memasuki kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba lakukan pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama sekali tak mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.

Dan yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.

Sensasi dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku. Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp.. Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang nafsuku.

Aku tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang siap menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar bangkit dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..

Aku tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya. Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.

Sementara itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan pahaku. Tak memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi kemaluanku. Tetapi dia terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan bertahun-tahun. Dia berbisik dalam parau.

"Bu Dokter, ibu masih perawan?"

Aku sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih perawan. Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko moralku? Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil sikap. Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.

Dalam posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat. Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.

Ditengah derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas 'amben' bambu dan disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari pintu desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak menyesalinya. Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul setelah melihat bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu tugas-tugasku. Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh perhatian padaku. Rasa 'adem' dan 'terlindungi' dari sosok dan perilaku Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga aku tak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.

Sesaat setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-'gelesot' di rerumputan dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.

"Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn.."

Tetapi aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di 'amben'. Bahkan aku merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.

Aneh, saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang. Bahkan bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali lagi meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.

"Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,"

Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan 'aduh'.

Dalam keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku merenungi betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi pada desa tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.

Saat pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya. Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang selalu aku perlukan.


E N D
Read More

Kejutan Untuk Kekasihku

Sejak Aku mulai mengenal betapa indahnya dan bahagianya kalau bisa memuaskan birahi kekasihku (Dimas), maka Aku jadi mulai kasih dia "hand jobs" secara rutin. Pertama-tama sih Aku cuman nemenin Dimas meng hand job dirinya sendiri, dan Aku "bantu" dengan pamer payudara aja. Abis gimana dong, Aku kan dulu masih takut-takut. Tapi lama-lama Aku jadi kepengin nyoba ikut memegang "joystick"nya. Eh akhirnya jadi keterusan, hehehe. Hampir tiap Dimas main ke tempat Aku, atau Aku main ke tempat Dimas, pasti ada acara nyelinap ke kamar tidur, kunci pintu, dan acara hand job dimulai.

Si Mbok kayaknya sih udah tau kalau Dimas sering ke kamar Aku, tapi Aku sama Mbok kan udah CS-an jadi asik aja deeh..:) Yang penting jangan sampe Mama sama Papa tahu. Kalau enggak bisa gawat.
Nah, ada suatu hari yang sangat berkesan banget buat Aku, soalnya ada kejadian yang seru tapi serem juga kalau diulang lagi. Jadi ceritanya begini: Dimas ama Aku lagi duduk-duduk mesraan di ruang tamu, pas sore-sore jam 7. Aku pikir hari itu acaranya bakal rutin. Biasanya abis duduk-duduk mesraan sambil bikin PR (gini-gini kalau lagi mesraan pun pelajaran Aku gak lupa lho), abis itu baru deh urusan "hand job" dimulai.

Kebetulan Papa ama Mama lagi gak di Jakarta, lagi keluar kota. Aku udah seneng aja. Horee!! Mumpung Papa ama Mama lagi gak ada, jadi acara hand-job bisa semalam suntuk! Yea! Eh gak tahunya, mendadak ada suara.
"Ting Tong", bel rumah Aku bunyi. Mbok Yem buru-buru pergi ke depan buat buka pintu.
"Eh, Bu Wida. Den Tanti.. ada Bu Wida nih!"
Mati aku, pikir Aku pas saat itu. Bu Wida itu Tante Wida, saudara Mama. Dia tinggalnya di Bandung, tapi sering main ke Jakarta. Nah, kalau dia dateng ke rumah sore-sore gini, ujung-ujungnya pasti nginep deh. Besok baru pulang, grr.. Ganggu acara Aku ajahh.

"Ya..gak pa-pa lah Tan.." kata Dimas sambil menghela napas.
Kalau udah gini justru Aku yang jadi blingsatan, soalnya terus terang aja, Aku seneng banget ngasi Dimas hand-job. Kalau kesempatan ber hand-job ria jadi ilang, Aku bakal BT banget. Gak tahu kenapa, kayaknya ada rasa puass.. yang gimana gitu kalau bisa bikin Dimas puas juga, hehehe. mungkin udah kodrat cewek sejati kali ya, lebih senang memberi daripada diberi kepuasan. Tapi kalau mau dikasi gak nolak lho, hehehe, yang penting nikah dulu yang bener!

Ngak terasa waktu berlalu. Ya, udah jam 9an malem. Udah dua jam kita bikin PR. PRnya selesai lho, padahal pas bikin sambil grayang-grayangan, hehehehe. Eh, posisi Aku pas bikin PR asik banget deh. Jadi kita berdua duduk di lantai, sedangkan bukunya ditaruh di meja tamu, yang gak terlalu tinggi. Aku duduk bersila, tangan Aku di meja megang bolpen dan buku. Dimas duduk di belakang Aku sambil meluk, dan sekali-sekali nyium-nyiumin tengkuknya Aku, ngeraba payudara Aku, dan kadang-kadang Aku juga nengok ke belakang dan ciuman sama Dimas. And hebatnya, itu dilakukan sambil bikin PR lho. Dimas selain rajin nggrayangin Aku ternyata juga rajin ngajarin Aku pelajaran sekolahan. Asik ya! Udah. PR selesai. Aku nyender ke belakang deh, ke pelukannya Dimas. Kayaknya Dimas jadi "on" deh, soalnya dia mulai nyelinepin tangannya ke balik Tshirt Aku, terus mulai "mijetin" payudara Aku sambil nyium-nyiumin tengkukku. Aduh Aku demen bangen deh yang model kayak gini. Jadi makin "on" juga deh.

Mendadak sebuah ide gila muncul di benakku. Aku gak tahu kenapa bisa muncul. Pokoknya tau-tau "ting!" muncul. Kayak di film kartun, di atas kepada Aku ada "lampu" yang "nyala", hehehe.
"Dimas, Aku kedalem bentar ya," kataku.
Dimas mengangguk. Aku buru-buru berdiri, ngerapihin baju, terus masuk ke dalam. Aku ngelihat ke living room, ketemu Tante Wida lagi nonton TV. Aku berjalan ke kamar, lali membuka lemari, pilih-pilih baju.. Ah ketemu! Daster biru tua polos yang leher bajunya rendaah banget. Kalau Aku gak pakai bra, payudara Aku gampang banget diintip lewat leher baju itu, Perfect.

Aku kembali ke depan, nemuin Dimas, dengan memakai daster biru tua tadi, sambil bawa botol Coca Cola ukuran jumbo dan gelas dua biji.
"Lah Tan, Coca Cola buat apaan? Kan kamu malem-malem gak boleh minum dingin-dingin dan soda-soda katanya," tanya Dimas.
"Udah deh, Mas santai aja. Ini surprise Aku yang kedua buat mas," jawab Aku.
Aku ambil tangan Dimas, terus Aku gandeng sambil Aku jalan ke sofa. Sambil duduk aku gak ngomong apa-apa, cuman megangin tangan Dimas sambil memberikan tatapan "rahasia" ke wajahnya. Dimas langsung ngerti, bahwa itu berarti Aku lagi pengen mesraan dengannya.
"Tan, Tante kamu gimana?" tanya Dimas sambil ngedeketin wajahnya ke Aku.
"Ya.. gimana ya?"
Sambil celingukan ke arah pintu yang menuju ke ruang tengah, Aku meluk leher Dimas terus nge kiss duluan, Dimas jadi gelagepan. Aku sekarang kalau kissing udah mulai "jago", soalnya udah banyak latihan sih. Kita berdua kissing, lembuut deh. Aku suka bingung sama orang-orang yang kalau kissing main lidah. Kan ribet banget. Aku lebih suka kissing pakai bibir, yang lembut tapi lamaa. Kayaknya lebih romantis. Aku biasanya merem kalau di kiss. Tapi Aku ngerasa Dimas malam ini agak lain. Akhirnya Aku buka mata, terus Aku liat mata Dimas juga ngelirik-ngelirik ke pintu ruang tengah. Hehehe. Rupanya Dimas masih mikirin Tante juga, takut kalau-kalau dia iseng-iseng ke ruang tamu.
"Udah dong mas, tenang aja," kata Aku.
"Loh kok tenang. Nanti kalau Tante ke sini gimana?"
Aku gak jawab. Aku pegang tengkuk Dimas, terus narik wajahnya ke deket dada Aku. Pelan-pelan Aku turunin leher baju Aku, trus Aku bilang,
"Dimas, kiss dong."

Dimas segera melakukan yang Aku minta. Enak lho, kayaknya ada rasa gimana gitu. Enaknya gak cuma di bagian payudara aja, tapi ke seluruh badan. Kayaknya rasa geli-geli enak dan merinding itu nyebar sampai ke tulang punggung dan ubun-ubun gitu. Aku gak tau deh, apa semua perempuan merasakan seperti ini? Apa jangan-jangan Aku doang?
"Dimas.." kata Aku..
"Jangan kuatir soal Tante.."
"Kok gitu?"
"Aku sengaja pake daster ini, jadi kalau Dimas mau grayang-grayang and kissing-kissing payudara Aku kan gampang, tinggal tarik dikit, beres. Kalau Tante mendadak kesini, kan tinggal belagak gak ngapa-ngapain aja."
"Pinter juga kamu."
"Trus, untuk urusan hand-job,"
Aku mengambil bantal sofa ruang tamu, terus Aku taruh di pangkuannya. Bantal itu lumayan besar sehingga bisa menutupi hampir seluruh bagian bawah tubuhnya kalau dia lagi duduk, mulai dari bawah puser sampai lutut. Terus, pelan-pelan Aku raba bagian depan celananya, sambil Aku soen pipinya, dan Aku bisikin..
"Mas gak keberatan kan kalau hand-jobnya di bawah bantal ini? Jadi kalau Tante iseng-iseng ke depan, kan Aku bisa buru-buru tarik tangan."
"Lah, taunya kalau Tante mau ke depan gimana?"
"Ya kan langkah kakinya kedengeran. Atau bisa juga begini." Aku bangkit sebentar trus nutup pintu ruang tengah.
"Nah, gitu Mas. Pintu ini kan berat, jadi kalau Tante buka pintu pasti ada suaranya, dan gak bisa langsung kebuka. Jadi ada warningnya gitu."

Dimas akhirnya tersenyum, dan memeluk Aku. Pelukannya erat tapi tidak membuat Aku sesak napas. Aku bisa merasakan jantung Dimas (dan jantung Aku juga) berdetak agak lebih kencang. Aku bisa merasakan napas Dimas agak memburu. Dan Aku bisa merasakan kecupan-kecupan dan belaian lidah Dimas di leher Aku, turun ke dada Aku, ke payudara Aku, Uhh.. enaknya. Aku merasa hanyut dalam cumbuannya. Aku merem deh, biar bisa meresapi keindahan ini. Gak terasa Aku melenguh pelan. Dimas berbisik di telingaku.
"Jangan keras-keras say, nanti Tante denger lho."
Aku juga nyadar sih, kalau mesraan curi-curi kayak begini memang rada kurang enak yah. Aku merasakan bahwa Dimas sebenarnya kurang bisa menikmati 100% saat-saat bemesraan ini karena dia takut ama Tante Wida. Yah, gimana dong ya, biar Dimas bisa enjoy? Pelan-pelan Aku tarik retsleting Dimas dari bawah bantal. Uh, kok belum "keras" sih? Kayaknya butuh something extra nih. Aku tarik lagi leher daster Aku, terus Aku "tawarin" payudaraku ke depan muka Dimas, sambil "punya"nya Dimas aku usap-usap dari luar underwearnya. Kontan aja "tawaran" Aku diterima.

Dimas dengan mesra mengecup, membelai dan mengulum ujung-ujung payudara Aku. Wuih, rasanya enaak deh. Lama-lama Aku ngerasa bahwa "punya" nya Dimas udah keras, dan udah bisa di hand-job. Aku tarik underwear Dimas ke bawah dikit, biar Aku bisa leluasa menggenggam "punya"nya Dimas. Posisi Aku pas banget deh. Kita duduk berdampingan di sofa, Aku di kanan Dimas di kiri. Tangan kiri Aku ngerangkul leher Dimas, Dimas mencumbui payudara Aku, tangan kanan Aku di "punya"nya Dimas. Aku merasa bahwa napas Dimas makin lama makin memburu, dan dia mulai memejamkan matanya.

Bagus deh, berarti Dimas udah mulai enjoy. Berarti "pekerjaan tangan" Aku bisa diteruskan dengan lebih serious. Tapi demi menjaga keamanan, kayaknya Aku musti cek Tante dulu nih.
"Dimas, bentaar aja, aku mau check Tante dulu ya. Nanti kita terusin, OK?" tanyaku pada Dimas.
Dimas merengut sebentar, tapi terus senyum lagi dan mengangguk. Hihihi, Aku soen pipi Dimas terus jalan deh nyari Tante ke dalam. Pas Aku lihat di depan TV, gak taunya Tante lagi tidur nggeletakan. Kasian, ngantuk dia. Dalam hati Aku bersorak, horee!! Biar Tante tidurnya enak, Aku selimutin aja pakai selimut dari kamar Aku. Beress.

Buru-buru Aku kembali ke ruang tamu. Dimas lagi duduk-duduk nyender sambil memejamkan mata. Tangannya bergerak-gerak di bawah bantal yang tadi Aku taruh di pangkuannya.
"Hayo Dimas, lagi ngapain? ini kan kerjaannya Aku" kataku sambil mengambil alih "pekerjaan" tadi.
Kamipun kembali ke posisi tadi. Kocokan tangan Aku di "batang"nya Dimas makin intens, seirama dengan desahan napas Dimas yang makin memburu. Kecupan dan jilatan Dimas di payudara Aku juga makin bikin Aku blingsatan, bikin Aku keenakan. Ohh Dimas.. Aduuh, lama-lama pegel juga ya? Kayaknya Aku perlu tambah "verbal stimulation" nih ke Dimas.
"Dimas.. ayo dong. Udah mau keluar kan? Please.. ayo Dimas, do it for me. Squirt for me," bisik Aku di telinganya.
Hisapan Dimas di puting Aku makin keras. Aduuh sakit. Pelan-pelan dong Dimas. Tapi gpp deh. Sakit tapi enak, hehehe.
"Tan..Dimas udah hampir nih," desah Dimas.
Well, this is the moment of truth buat Aku. Now or never! Cepat-cepat Aku ambil gelas berisi Coca Cola di meja, Aku minum seteguk (tapi nggak ditelan). Aku singkap bantal yang ada di pangkuan Dimas. Lalu.. Aku masukkan "kepala"nya ke mulut Aku, sambil Aku kerjain terus "batang"nya. Dimas terbelalak. Kaget dia. Aku sambil tetap mempertahankan tangan dan mulut Aku di "batang"nya Dimas, Aku melirik ke arah wajah Dimas, hehehe. Merem-melek dia, menikmati "kerjaan"nya Aku.
"Aku.. I love youu!!" Dimas teriak ketahan
Aku merasakan "punya"nya Dimas menegang, dan kayak ada sentakan-sentakan keras beberapa kali. Aku bergidik juga sih, ini kan pertama kali Aku masukkin "punya"nya Dimas ke mulut Aku. first blow job. Terus keluar di dalem lagi. Makanya Aku akalin pakai Coca Cola, biar gak jijik.

Aku berasa kayak ada "cairan" lain yang nambah masuk ke mulut Aku. Ini pasti spermanya Dimas. Aku terus ngurut-ngurut "punya"nya Dimas sampai Dimas kayaknya udah gak terlalu tegang lagi, dan dia menarik napas legaa..banget. Pelan-pelan Aku bangkit. "Punya"nya Dimas udah kecil lagi. Aku ambil botol Coca Cola, Aku tuang lagi ke gelas yang tadi, terus GLEK, Aku telen semua. Baik Coca Colanya maupun "hasil kerja"nya Aku dan Dimas. Sambil minum, Aku bersihin "punya"nya Dimas pakai ujung daster. Yeech, belepotan deh. Tapi gpp deh demi Dimas. Dimas kelihatannya masih capek banget. Aku rangkul dia, terus Aku bisikin..
"Gimana Dimas, enak gak surprisenya Aku?"
Dimas tersenyum dan ngekiss Aku, lembuut banget. Terus dia berbisik
"Tan, I love you. Makasih ya. Kamu udah bikin Mas happy banget!"

Aku juga happy banget. Sambil tiduran di dadanya Dimas, Aku masukkin lagi "punya"nya Dimas dan Aku kancingin lagi retsletingnya. Selama beberapa saat, kami berdua nggak bicara apa-apa, cuma saling rangkulan aja. Dimas ngebelai-belai rambut Aku sambil sekali-sekali ngekiss Aku. Tapi kita bener-bener cuma saling menikmati sentuhan aja. Aku bener-bener menikmati saat-saat kebersamaan kayak begini. Aduh Dimas, mudah-mudahan kita bisa terus sampai nikah ya, karena Aku ingin sekali bisa begini terus sama Dimas, selamanya deh.

Beberapa jam kemudian, Dimas pamit pulang, soalnya dia ada kerjaan lagi besok. Kami pelukan lama banget di gerbang, terus Dimas berlalu. Aku masuk lagi, terus ngecheck Tante. Ternyata Tante masih tidur di depan TV. Aduh, lega deh! Coba kalau misalnya Tante tadi terbangun, kan berabe. Ya udah, beginilah cerita Aku. Sejak kejadian ini, Aku masih suka curi-curi kesempatan lagi buat ber blow job ria kalau lagi sama Dimas.

TAMAT
Read More

Misteri Akhir Pekan Mila

Hampir lama kami tidak bercengkrama mesra. Paling-paling pulang kantor kami janjian di mal atau di suatu restaurant untuk makan. Atau kalau Papi (suamiku) nggak ada, dia datang mampir menjemputku. Kami tinggal nyaris satu kompleks di daerah Purwomartani Sleman, di kompleks yang memiliki pengamanan yang cukup baik.

12 Maret 2004

Walau Papi pergi untuk 4 s/d 7 hari, tidak tiap hari aku dijemputnya di rumah, kadang dia berangkat duluan pagi-pagi atau paling banter kami konvoy. Dan dia paling suka mengemudi di belakang mobil Papi. Katanya,"Secara psikologis lebih enak mengejarmu dari belakang jadi ada motivasi nih.."

Kemarin siang dia bilang kalau istrinya telpon, tidak bisa pulang, sehingga dia diminta datang ke Semarang. Ibu adalah manager personalia di sebuah bank, sementara GM-ku sebelum ke Yogya adalah GM di Semarang. Wah dia regret. Soalnya hotel lagi penuh. Jadilah mereka tidak bertemu akhir pekan itu. Dia langsung mengajakku,

"Mami.. Yuk kita main!?" ujarnya mengingat malam berikutnya Papi akan pulang.
"Di tempatmu aja ya?" aku mengangguk setuju.

Jadi malam itu aku masih di hotel. Maklum besok Sabtu, cuma sampai jam 12. Aku keasyikkan dengan notebookku, sampai tiba-tiba mendapat SMS dari GM menanyakan aku di mana. Dia sendiri baru pulang dari sebuah acara undangan dan kelihatan lelah sekali. Belum sempat menjawab SMSnya dia sudah berdiri di pintu kantorku. Sosok gagah tinggi besar 185 cm dan agak kekar diusianya ke 42 berdiri dengan senyum khasnya dan..

"Eeehh. Belum pulang?" sapanya mesra
".. Khan nungguin Papa," sahutku sekenanya langsung log-off dari pusatceritadewasa.
"Ayo deh. Aku kawal di belakang.." jawabnya seperti biasa"In five minutes. Okay?"
"Yes sir" jawabku dan langsung aku 'rusuh' melipat notebookku dan seterusnya.

13 Maret 2004

Pagi hari dia SMS kalau akan mampir menjemputku. Hari itu aku sengaja berbusana kesukaannya blus berkerah shanghai biru muda satin dengan kancing-kancing putih yang berbaris rapih dan lurus dari leher ke bawah. Kupilih rok abu-abuku. Dan sepatu pemberiannya padaku, haknya tidak terlalu tinggi karena untuk dipakai kerja. Ketika Grand Corollanya berhenti di depan rumahku. Aku segera keluar dan mengunci rumah dari luar.

"Suit, shiuu.. Waduh waduh my honey cantiknya.. dari atas sampai bawah.." sapanya kagum.
"Idiih Papa, ini khan semua Papa yang beliin khan," jawabku manja sambil masuk ke dalam mobilnya.

Hari itu kami sibuk masing-masing. Tiba di rumahku. Aku bikinkan Papa, Nescafe kesukaannya lalu aku gorengkan pisang goreng kesukaannya. Belum sempat kami berganti baju. Bahkan masih bersepatu. Kami duduk nonton DVD, di lantai di atas bantal besar dan di peluknya dari belakang. Hangat.. Sampai kira-kira jam 18.30, kemudian aku beranjak hendak membuatkan makan malam. Diikutinya aku ke dapur.. tahu-tahu Papa melilitkan tali temalinya dengan tali pramuka yang warna putih, ke payudaraku. Mulai atas dan bawah. 4-5 kali lilitan.

"Paa. Sabar dulu, khan mau masak nih.."
"Biar Papa yang masakin buat Mami juga yaa," lembutnya dia berbisik hingga telingaku mulai terasa geli, sambil sementara dia simpulkan ikatan di tubuhku kemudian menarik kedua pergelangan tanganku kebelakang, menekuknya agak ke atas lalu disambungkan dengan tali yang sudah mengikat di dada dan lengkaplah tanganku terikat erat oleh Papa.

Dibiarkannya aku berdiri sambil menyaksikan Papa yang sedang menyalakan kompor. Menuangkan minyak. Kemudian membuat campuran bumbu, menyiapkan nasi yang sudah ada lalu dituangkan semua ke dalam wajan.

"Nasi Goreng ya Paa.??"
"Betul Mami. sudah lapar khan?" aku hanya tersenyum sambil menunggui Papa masak dengan tangan terikat di punggung.
"Kklikk.!" Papa mengambil gambar dengan Nokia 3650 satu kali, dengan Nokia 6600nya sekali.
"Ah. Paapaa." sergahku malu di photo dalam keadaan terikat.
"Mami tunggu dulu di ruang makan deh" Aku beranjak tinggalkan dia (memang kakiku tidak diikat) dan berjalanlah aku dengan tangan terikat. Menuju ruang makan.

Papa segera menyelesaikan masaknya. Membersihkan dapur rumahku, tidak lama dia mengajakku masuk ke dalam kamar. Kami duduk di ranjang. Lalu sendok demi sendok aku disuapinya sambil sesekali di sela dengan tawa candanya serta ciumannya yang hangat dikeningku. Di biarkannya aku di ranjang usai makan. Namun kakiku yang masih bersepatu dia ikatkan jadi satu mulai atas lututku. Lalu ada lagi ikatan di pergelangan kakiku.

"Sebentar ya sayang. Nikmati dulu kesendirianmu. Nanti kalau sudah beres di dapur, pasti Papa segera memelukmu," sambil menghidupkan AC di kamarku. Tinggallah aku sendirian di kamarku. Dengan tangan dan kaki terikat erat dalam kemesraan dan rasa ketergantungan yang tinggi dalam ketidak berdayaan kepada Papa yang mengikatku. Berusaha aku mengatur dudukku. Kemudian merebahkan kepalaku pada bantal serta mengatur posisi tubuhku enggak memiring ke kanan, agar tanganku yang terikat kebelakang tidak perlu tertimpa oleh tubuhku. Karena itu akan membuat tangan ini cepat kaku atau kesemutan.. Saking lelahnya badan ini maka akupun akhirnya terlelap..

Sesaat aku terjaga. Aku menoleh kesebelahku. Ternyata Papa tertidur di sisiku. Bertelanjang dada hanya memakai celana pendek tertidur dengan tangan yang memeluki diriku.

"Paa..?" Aku berusaha menyapanya tapi yang terdengar ditelingaku adalah, "Mmphh?" oh.. rupanya Papa telah menyumbat mulutku dengan lakban peraknya.

"Papaa.. Papa.." dalam hatiku menyadari mulut tersumbat yang menumbuhkan rangsangan sendiri serta ketergantungan padanya, "cepat-cepatlah bangun. Biar aku nggak 'terlantar' begini Pa"

Aku terlena dan kembali terlelap saat aku sadari rupanya Papa sudah terbangun sedang membelai-belai aku. Kemudian dengan 'ganas'nya Papa mulai menciumi leherku, telingaku wah pokoknya seluruh wajahku tidak ada yang luput dari ciumannya. Diiringi desah suara dan emosi jiwanya yang meluncurkan kata,
"Yamo.. (ti amo = cinta) Mami.. Ahh.." berulang-ulang saat dirinya menciumiku habis.
"Mami.. Mmm Maammii.!" desahnya sambil membuka kancing blus shanghaiku pemberiannya saat ulang tahunku dari bawah lalu ke atas dan menyibaknya pelan-pelan supaya tidak rusak. Dengan cekatan dia lepaskan kancing braku yang ada di depan lalu diremas-remas payudaraku dengan lembut, lambat laun lebih kencang. Puting susuku dimainkan dengan lidahnya, diisap-isap mesra.

"Mmh.. Mmmh..!" desahku nikmat dan tenggelam dalam kehangatan dan rasa sayang Papa hingga rasanya aku melayang dengan rangsangannya yang membuat aku semakin dekat dengan orgasme saking sekian lamanya tidak merasakan kehangatan laki-laki, karena seringnya ditinggal suamiku terbang.

Papa kemudian menjelajahi tubuhku dengan ciuman dan lidahnya hingga keujung kakiku yang masih dia biarkan bersepatu model tali melintang di pergelangan, yang dia sebut 'sepatu sexy' itu sementara naluri birahiku semakin meninggi dan kelihatannya Papa tahu gelagatku. Masih di ujung pergelangan kaki, Papa membuka tali-tali yang menyatukan kedua kakiku yang masih terikat pada pergelangan, ditariknya dengan mesra celana dalamku hingga lepas dari kakiku, kemudian mengikatkan kedua kakiku ke ujung kiri dan kanan tempat tidurku. Tidak dilepasnya rok abu-abuku olehnya hanya diangkat hingga pinggang dan kembali ujung lidahnya bermain dari lutut hingga selangkangan, serta merta rangsangannya yang kuat dan oh. Nikmatnya! Membuat vaginaku mulai basah.. Tanpa malu-malu Papa yang seakan tahu kebutuhanku detik itu melepas celananya, dan terlihat penisnya yang sudah sangat menegang itu. Tubuh Papa yang lumayan kekar itu mulai menghimpit tubuhku yang tak berdaya dalam puncak kenikmatan.. "Ccrreett.." lakban peraknya yang menyumbat mulutku dilepasnya,
"Auuwww.!!" teriakku manja lalu Papa mencumbui bibirku, mengulum dengan lidahnya yang menjelajah di dalam mulutku.
"Aaarrgghh.. Papaa.. Jantanku..!" tanpa sadar aku bersuara nikmat saat vaginaku menyambut penis Papa.

Bergoyang keluar masuk dengan kerasnya memberikan kenikmatan yang tidak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Mas. Aku memang dalam keadaan terikat erat tak berdaya. Oleh kebanyakan wanita mungkin dirasakan sebagai penderitaan, namun bagiku, ini adalah 'penderitaan yang sangat nikmat'

"Aaawwhh.." kurasakan cairan menyembur deras di vaginaku.

Papa sudah sampai pada ejakulasi dan telah memberi aku kenikmatan puncak. Memang dengan masalah penyakit kistaku yang belum dioperasi ini, aku tahu persis hubungan kami tidak meninggalkan resiko apa-apa. Maka meluncur deraslah cairan sperma Papa memenuhi vaginaku..
"Aaarrgghh!" Kurasakan kenikmatan puncak dari seseorang yang aku cintai karena perhatiannya dan kehangatannya yang tiada tara. Sungguh aku lupa keadaanku kini, meski ku terikat erat, tali-tali yang mengikatku ini kurasakan sebagai sebuah pelukan yang sangat erat dari Papa, yang seolah enggan melepaskan diriku kembali ke pemilikku yang sesungguhnya.

Lelah kami bercengkrama, lalu akhirnya kami tertidur.. Beberapa jam kemudian

"Paa. Bukain dong tanganku. Saakiitt ni..!"
"Paa." aku berusaha berbisik di telinganya.

Keadaan tubuhku yang belum berubah. Masih terikat tanganku kebelakang. Mulutku sudah tidak di plester lagi namun kakiku masih terikat erat ke masing-masing sudut tempat tidurku

"Saayaang. Lepasin ikatanku dong. Mmhh mm aahh!" kucium mesra telinganya.
"Eeerrgghh..!" erang Papa berusaha bangun dari pulasnya.
"Paa." aku berbisik lagi di telinganya.
"Apa Mamii.!?" jawaban saja yang terdengar dan mata masih terpejam.
"Bukain dong. Kesemutan nich..!'
"Oohh..!" Papa akhirnya terbangun.

Duduk semenit. Lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Kakiku. Tak lupa dia menciumku hangat sebelum semua ikatan ditubuhku dilepasnya. Jam menunjukkan pukul 4 pagi.. Papa kembali tertidur, sementara aku masih berbaring berpelukan di dada Papa yang bidang itu. Setengah jam kemudian aku bangun, langsung mandi keramas membersihkan sekujur tubuhku.. Sementara mandi aku perhatikan bekas ikatan di pergelangan tanganku.. Tersenyum sendiri..

Tahu tahu Papa masuk langsung memeluki aku dengan hangatnya.

"Eh Papa sudah bangun?" kemudian lagi-lagi tanganku diikatnya ke belakang dengan tali pakaian bathrobeku yang berbahan handuk. Lalu aku digosoki sabun. Shampoo.. Suatu rasa yang sangat sensual dalam sentuhan tangannya, aahh..!!

14 Maret 2004

Papa sudah berangkat kembali ke hotel sekitar jam 10, lalu rencana dia akan pergi ke Semarang untuk menemui istri dan anak-anaknya selama satu malam. Papi (suamiku) memang kembali hari ini semalam, transit dari Jakarta. Besok dia akan terbang ke Bali, langsung terbang ke Sydney dan Melbourne Australia. Mungkin dia akan tiba sekitar jam 7 malam dengan pesawat terakhir dari Jakarta.

Segera aku beranjak, oh.. sudah jam 1 siang. Tidak terasa setelah tadi malam. Hari berlalu cepat. Aku meluncur ke Alfa, rencananya memang mau isi stok lemari es ku dengan makanan biar nanti kalau Papi mau makan, stok tetap ada. Pikirku. Sempat aku melewati hotelku, hotel kami (dengan Papa) dari kejauhan aku lihat mobil Papa segera meluncur keluar..

"Miillaa..!" handphoneku berbunyi, itu adalah telpon Papa yang memang ringtonenya adalah suaranya memanggil..
"Hi honey.!" jawabku
"Mau kemana Mamii.!?" suara diseberang.
"Cuma ke Alfa aja kog. Belanja!"
"Aku pulang dulu ke Semarang yaa.."
"Uu.. uuhh!" ungkapku kesal dan manja.
"Kukembalikan dirimu pada pemiliknya hehe hee!" goda Papa.
"Ya sudah hati-hati di jalan ya sayang..!"
"Yamo.. (maksudnya Ti amo)" kataku.
"Miss u sweety. Mmuuaahh!"
"Mmuuahh Papaa..!" telponpun terputus.

Tibalah aku di parkiran Alfa Gudang Rabat. Segera aku masuk ke dalamnya dan larut dalam keramaian belanja. Saat aku mengendarai Suzuki Escudoku bergegas kembali ke rumah. Jam digital di mobilku menunjukkan 17.30. Hemmh.. Empat jam lagi Papi pulang. Pikirku. Keasyikkan belanja membuat aku lupa akan kejadian semalam.

"Toh semua sudah ku bersihkan.. Sprei sudah kukirim ke laundry. Dan aku telah mampir untuk mengambilnya.. Dan sprei baru sudah kupasang.. Hemm!" pikirku dalam perjalanan pulang. Memasuki pekarangan rumahku, kuparkirkan mobilku.. Lampu rumah dalam keadaan menyala.. Wah Papi sudah landing nih. Hatiku bersorak. Kumasuk ke dalam rumahku.

"Paapii.." riangku.
"Ehh Mami. Dari mana aja? Tadi Papi telpon nggak di angkat.."
"Ah masa..?" buru-buru aku keluarkan hapeku dari tasku.
"Oh. Aku dari Alfa tadi sama mampir laundry.. Sorry sayang, nggak kedengeran. Rame soalnya di Alfa" jawabku lalu mencumbunya.
"Kog cepat mendaratnya. Bilangnya kemarin last flight?" tanyaku.
"Last flight cancel. Jadi aku nebeng aja sama si Tomo, pas dia bawa Boeing 737 jadi banyak seat," jelas Papi yang dari wajahnya terlihat letih.
"Ya sudah. sudah lapar khan. Aku masakin dulu yaa!"
"He eh deh!" Papi assyik memasang DVD terbarunya.

Hariku dengan Papi berlangsung biasa saja tetap dalam kemesraan. Aku nimbrung ikut nonton dvd dengannya sambil bersandar di perutnya yang besar dan empuk he.. he.. hee.. Menjelang malam tiba, aku tinggalkan Papi di ruang tengah karena ngantuk mau tidur.. Segera aku melepaskan bajuku berniat mengganti dengan dasterku, saat aku melepas BHku..
"Cccreett.. Cccreett.." belum sadar apa yang terjadi tanganku sudah terikat dengan lakban perak.
"Cccreett.." lalu mulutku diplester lakban yang sama.
"Mmmpphh.. Mmmpphh..!" protesku membutuhkan penjelasan Papi.. Dia mendorong tubuhku terduduk di ranjang kami lalu..
"Cccreett.. Cccreett.. Cccreett.." kakiku yang belum sempat melepaskan sepatunya sejak dari Alfa tadi sudah terikat jadi satu degan lakban perak itu..
"Wah sejak kapan Papi punya lakban itu??" tak habis aku bertanya.
"Dari mana barang begini?" tanya Papi menunjukkan lakban penemuannya.
"Siapa itu Pa.. Siapa Papa itu? Haahh?" tanya Papi lagi.
"Tadi kamu ketiduran.. Memanggil Papa.. Siapa itu?" (padahal mulutku diplesternya, bagaimana mau jawab??)
"Mmmpphh. Mmmpphh.!" mataku membelalak memprotes hak jawabku yang tersumbat ini.
"Cccreett.!!"
"Aaauuwwhh!!" sergahku kesakitan karena lakban dimulutku dibukanya dengan kasar!
"Papi. Lakban ini aku minta dari engineeringku untuk menempel dus baju yang sudah robek itu? Kenapa sih Papi ini??" aku menghardik balik..
"Siapa itu Papa..?" Papi seolah tidak menggubris jawabanku.

"Siapa mertuamu Papi??" aku nggak mau kalah, masih banyak akalku saat itu.
"Dia sempat menelponku dan memberi nasihat banyak disaat masa tuanya. Sebenarnya aku sedang mengingatnya." mataku berkaca-kaca.
"Terseraahh!!" Papi kesal dan masih emosi lalu kembali menyumbat mulutku dengan lakban dan meninggalkan aku di kamar kami, dikuncinya dari luar sementara dia mungkin tidur di depan televisi di penuhi rasa cemburunya yang tidak beralasan (padahal sebenarnya beralasan) cuma dia nggak punya bukti.

Tinggallah aku sendiri di kamarku, terkunci dari luar dan diriku terikat dengan lakban dalam keadaan telanjang seperti ini, hanya panty yang tersisa. Bingung aku. Memang aku bisa saja menikmati keberadaan ini, tapi untuk sendiri di sebuah ruangan. Terkunci. Tak ada ubahnya dengan penculikan di rumah sendiri. Ngerinya diri ini mengetahui terikat dalam kemarahan seseorang (meski suami sendiri).

Aku menyadari suatu hal, Papi, suamiku terdidik dalam keluarga yang mempunyai disiplin ketat. Bapaknya tidak segan menghukum dengan cambuk atau mengikatnya ke pohon atau kursi saat suamiku waktu itu ketahuan mencuri uang belanja untuk pergi main game. Hemh inikah caranya. Dia marah sama aku lalu aku langsung diikatnya. Belum pernah aku diperlakukan begini sejak hampir 4 tahun kami menikah. Aku lihat Papi ada potensi untuk mengerti 'kebutuhanku' cuma entah bagaimana cara untuk bisa membuatnya tahu kalau aku sebenarnya senang dengan ke'terikat'an dalam arti sesungguhnya. Hanya tidak senang sama sekali dengan keadaan sekarang, diikat sendirian dan dikurung di kamar terkunci dari luar.

Berusaha aku mengendalikan tubuhku yang terikat (atau terpaket) seperti ini serta merta mencari posisi agar tubuhku bisa naik semua ke tempat tidur sambil berharap lakban yang mengikatku bisa terlepas dengan sendirinya. Oh ternyata erat juga si Papi mengikat dan menghukumku seperti ini. Dan karena sebenarnya sudah sangat mengantuk, akupun akhirnya tertidur dalam keadaan yang serupa dengan malam sebelumnya, namun dengan rasa khawatir yang mencekam.. Takut juga kalau tiba-tiba Papi pergi membiarkan aku di rumah sendiri, di kamar terkunci, dan terikat dengan mulut diplester lakban.. Zzz!

Malam semakin larut. Aku melihat jam di sisi tempat tidurku menunjukkan pukul 3.00 pagi. Sejenak aku tersadar, keadaanku masih seperti tadi, tanganku terikat oleh lakban kebelakang, dengan kaki yang masih bersepatu, terikat erat menyatu dan mulut yang tersumbat lakban. Aku masih tertidur sendiri di ranjang pengantin kami, pelan-pelan aku berusaha bisa melepaskan diriku dari ikatan-ikatan yang membelengguku.
"Mmmpphh." basah air liurku kelihatannya bisa membantuku melepaskan mulutku. Demikian peluh di tubuhku diharapkan bisa mengendurkan daya rekat lakban yang hebat ini. Di kamar yang agak panas hawanya karena AC-nya lupa dinyalakan.

Malam yang penuh perjuangan ini belum berpihak padaku sehingga saking capainya meronta-ronta melepas belenggu ini, aku tertidur.

15 Maret 2004

Rasanya sudah jam 5 pagi. Agak ribut di kamar. Oh rupanya Papi baru habis mandi dan tengah berpakaian. Dapat kulihat amarah yang tidak mendasar itu masih menyelimutinya. Akupun pura-pura tetap tertidur. Berharap dia melepaskan ikatanku. Namun rupanya cuma mimpi. Papi yang pagi ini melayani pesawat pertama dari Yogya ke Bali kemudian 5 jam setelah itu terbang ke Sydney dan Melbourne hanya melemparkan gunting di bagian lain tempat tidurku kemudian meninggalkan rumah kami ini di mana istrinya terikat, tersekap sendirian..

Serta merta kugulingkan badanku gulingkan mendekati gunting itu. Memutar tubuhku dalam ketidak berdayaan. Hingga dapat!!

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson mobil yang kukenal.
"Oh. Papa??" pikirku. Sukacita di hati ini.

Aku berusaha berdiri. Berusaha berjalan, meski langkahku hanya 10 cm menuju cermin besar yang 2 meter dari ranjangku. Tanganku yang terikat lakban kebelakang menggengam gunting. Aku berhasil sampai di depan cermin dengan selamat, tidak jatuh! Kemudian aku berusaha menggunting lakban itu, sambil menoleh ke cermin namun takut juga melukai tanganku.

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson Great Corolla Papa bunyi lagi.

Segera aku berusaha dulu melepas mulutku dengan menggerak-gerakkan bibir bawah dan bibir atasku dengan tenaga dari daguku.

"Paapaa..!" Oh aku bisa kembali bersuara. Lakban itu hanya menempel di bibir atasku.
"Klek.. Klek..!" pintu rumah terbuka.
"Hey Mami. Ada apa dengan kamu sayang?" Papa masuk, terkejut habis melihat keberadaanku, terikat nyaris telanjang semua. Mulut masih berkumis lakban.

"Papaa.." isak tangisku dan jatuh dalam pelukannya.

Papa menggendongku duduk di ranjang kemudian buru-buru melepas lakban dimulutku dengan tuntas, kemudian menggunting lakban di tanganku serta melepas rekatannya dengan pelan dan lembut. Aku langsung memeluknya, padahal Papa mau buka ikatan (rekatan) di kaki ini.

"Ada apa dengan kamu Sweety. Dibilang rampok nggak ada yang hilang, kunci jendela nggak rusak? What is going on darling..?" ciuman dan pelukan Papa membuat rasa takut semalaman pudar sudah.
"Siapa yang membuat kamu begini?" tanya Papa lagi.
"Bilang-bilang dong.. Papa rugi nich..!" seloroh Papa sambil memberikan aku segelas air di dekat tempat tidurku.

Setelah hati ini lebih tenang sedikit.

"Itu si Papi, marah nggak jelas juntrungannya Paa.." aku mengadu.
"Langsung dia ikat aku kaya begini, terus disekap aku di kamar ini, di kunci dari luar" aku masih terisak.
"Ooohh. Kok gitu yaa.. Ya sudah, nanti kamu cerita lagi kalau kamu mau dan sudah tenang, Papa kaget aja pagi-pagi masuk rumahmu.. Hemh.. Kamu sexy banget lho!" goda Papa. Aku yang masih dipangkuannya jadi tersipu malu. Eehh ada yang 'mengeras' pas aku duduki.

"Gih. Mandi dulu sana. Papa bikinin sarapan lalu kita berangkat yuk!" ujarnya seperti biasanya dalam kehangatan yang khas Papa.

Aku segera membuka sepatuku. Membungkus diriku dengan bathrobe lalu berlalu ke kamar mandi sementara Papa beranjak keluar kamar berjalan menuju dapur. Kupasang radio compo di kamarku, 120.36FM eh bisa pas banget.. Lagunya Ruth Sahanaya:

"Ingin kumilikii, dengan sepenuh hati..

Walauku harus setengah terluka mengharap cintamuu..

Ingin ku sayangii. Tanpa terbagi laagii

Apakah mungkiinn, menjalin kasih bila aku tak tahu bagaimanaa, 'kan mencintai dirimu..

E N D
Read More

The Sad Love Story

Somewhere, suatu waktu..

Kamar itu gelap. Sinar bulan tampak menyentuh kisi-kisi jendela kamar kecil itu. Membayangkan silhouette tubuh yang meringkuk di sudut kamar. Rena menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan lengannya yang memeluk lutut-lututnya. Bahunya yang bergerak-gerak menandakan bahwa gadis kecil itu sedang menangis. Rena mengangkat kepalanya, mengutuk sinar bulan yang menerpa wajahnya yang ternoda jejak-jejak air mata dalam hatinya. 'Bagaimana aku bisa memaafkan dia..'

"Rene.. ah.. Rene.." mulutnya berbisik setengah terbuka. Buliran air mata jatuh melewati pipinya menetesi lengannya. Gagang telepon di sebelahnya memperdengarkan nada sibuk. Rena memasukkan lagi kepalanya dalam dekapan kakinya, dan bahunya kembali bergerak-gerak.

Sepuluh kilometer jauhnya, waktu yang sama.

Rene membanting C35-nya ke lantai, memandangi sejenak serpihan- serpihan mesin itu berpencaran ke segala arah. Rene menjambak rambutnya dengan kesepuluh jemarinya. Gila.. semua gila, batinnya dalam hati.
'Rena.. bangsat! Cintaku.. aku..'
Rene menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, matanya merawang menatap langit- langit kamarnya. Melamunkan wajah gadis kecil itu dalam dekapannya.. yang beralih menjadi bayangan api kemarahan dan kesedihan yang terpancar dari nada suara gadis yang beberapa menit lalu masih bercakap-cakap dengannya. Rene menutup matanya dengan lengan kanannya, bahkan ia masih memiliki sedikit rasa malu kepada kamar kesayangannya, untuk melihatnya meneteskan air mata.

Somewhere, lantai dua, waktu yang sama.

Rina mengeraskan suara walkman-nya. Membiarkan lantunan musik kesayangannya memenuhi rongga telinganya. Tangannya bergerak membuka lembaran-lembaran literatur dihadapannya.
'Ah, aku harus belajar giat supaya cepat lulus.. lalu..'
Matanya memandang ke bingkai foto di atas meja disamping tempat tidurnya. Tangannya mengambil bingkai foto itu, dan bibirnya mencium wajah cowok yang sedang tersenyum kepadanya lewat foto di hadapannya. Cup.. cup.. Rina mencium foto itu berulang-ulang, membayangkan kehangatan cowok itu saat memeluknya, menciumnya, mencumbunya.. belajar.. belajar.. Rina mengingatkan dirinya sendiri sebelum tangannya mulai gatal.

Dua purnama yang lalu.

Cowok yang hanya mengenakan kaus oblong itu terlihat sibuk membersihkan mobilnya. Tangannya menggosok permukaan mobil itu dengan cermat, sesekali menyeka peluh yang keluar dari dahi dan pelipisnya.
'Ah.. panas sekali', umpatnya dalam hati.
Rene meraih selang yang tergolek di sebelah kakinya, bangkit berdiri dan menekan knob penyemprot di tangannya. Dicobanya untuk mengarahkan air itu ke wajahnya, ahh.. segarnya. Dibilasnya mobil itu dengan hati-hati, memastikan semua kotorannya luluh ke jalan. Mendadak telinganya menangkap suara bertubruknya sesuatu. Matanya mencari-cari, sementara tangannya yang memegang selang tetap mengarahkan semprotan air ke mobilnya.

Setengah jam sebelumnya.

"Kaak.. mana.. katanya mau ngajak aku jalan-jalan?", suara gadis ABG itu terdengar manja dan memaksa.
Gadis yang lebih tua berkata dangan malas, "Sekarang? Tanggung nih..".
Remote TV itu masih dalam genggamannya.
"Kaakk..!!" Rena memegang pundak kakaknya, merayu-rayu supaya kakaknya bersedia mengatakan janjinya.

"Iyaa.. udah sono!" Rina tertawa geli melihat kelakuan adiknya yang manja.
'Yah beginilah', pikirnya, jika hanya punya adik semata wayang, yang sangat kebetulan manja dan pemaksa.

Rina menyusuri jalanan kecil itu melewati rumah-rumah yang terlihat sepi. Adiknya yang duduk di belakang seakan menikmati suasana panas di siang hari itu, sementara kakaknya sesekali mengelap keningnya yang basah oleh keringat. Rina merasakan sebutir keringat mengenai matanya.. aduh..

Rene melihat seekor kucing lari terpincang-pincang dan menghilang dibalik pagar sebuah rumah. Rene tertawa, bukan pada tingkah gugup kucing itu, tapi pada kedua gadis di seberang jalan yang saling menyalahkan satu dengan lainnya.

"Makanya kalau jalan hati-hati.."
Rina kaget mendengar suara itu dan menghentikan pertikaiannya dengan adiknya yang masih cemberut.
"Rene.." matanya hampir tak berkedip memandang sosok cowok yang cengar-cengir di hadapannya, yang kemudian membungkuk untuk membantu menegakkan sepeda motornya.

"Reneehh..", Rina menahan desahan nafasnya ketika bibir Rene mengecup mesra bibirnya.
"Ada adikku loh."
"Biar saja, biar cari pacar.. hehehe.. mm..", Rene meneruskan ciumannya, sementara tangannya bergerak meremas-remas payudara Rina.
"Akhh.. Rene!" Rina menyingkirkan telapak tangan Rene dari dadanya, meninggalkan ruang tamu dan Rene yang tertawa-tawa, menghampiri adiknya yang mengomel panjang lebar di luar rumah.

"Nih.. awas.. sakit." Rina mengusapkan kapas yang basah oleh Betadine itu ke luka di lutut adiknya.
Rena mengerutkan alisnya, menahan nyeri dari reaksi Betadine yang menyapu pori-porinya. Rene keluar membawa segelas air.
"Nih, minumnya..". Rena meraih gelas itu dari tangan Rene dan meminumnya, tak sempat melihat tangan Rene yang menyusup masuk ke dalam baju kakaknya, sempat meremas sejenak, sebelum Rina menggerakkan sikutnya.

Rene tersenyum-senyum ketika melihat kakak beradik itu melambaikan tangan kepadanya, sebelum sepeda motor mereka oleng lagi dan kali ini hampir saja naik ke trotoar. Rene masih sempat mendengar erangan si adik yang memaki panjang lebar sebelum sepeda motor itu akhirnya menghilang di kejauhan.

Dua minggu kemudian, di sebuah malam minggu.

"Aduhh..", Rina memegangi perutnya yang terasa nyeri.
Otot-otot keningnya menegang. Rina dapat merasakan pegangan tangan Rene di bahunya.
"Rina, tahan dong." Rene berkata panik.
"Apotik.. obat.. hhggnn.." Rina mengerang-erang kesakitan.
"Hah? Apotik mana? Obat apa?"
"Rena..", telunjuk Rina mengarah ke ruang tengah.
Rene langsung berlari, mendapati Rena yang sedang tiduran di depan TV.
"Ren, kakakmu kumat tuh..".
Rena langsung berlari dan memegangi perut kakaknya yang masih meringis.
"Duhh.. mana Papa Mama nggak ada, lagi.." nada suaranya terdengar panik.
"Beli.. uang.. di atas meja.." Rina berkata terengah-engah.
Rena langsung berlari ke dapur, mengambil segepok uang yang terletak di atas meja makan.
"Ayo.." Rene mendahului keluar

"Bangsat!" Rene melayangkan tinjunya ke rahang salah seorang anak muda yang berdiri paling dekat dengannya, membuat anak muda itu terjatuh.
Orang banyak segera berkerumun di sekeliling mereka. Teman-teman si anak muda menjadi reseh dan ngeloyor pergi sambil membawa teman mereka. Rene tak menghiraukan pertanyaan orang-orang di sekitarnya, memegangi bahu Rena yang terguncang dan membuka pintu mobil.
"Kamu sih, keluar duluan. Makanya.. lain kali.." Rene tidak meneruskan omelannya, merasa iba melihat tangis gadis kecil di sebelahnya.
Rene menghentikan mobilnya.
"Sudah.. jangan nangis lagi. Jelek.", Rene mengulurkan tangannya memegang pundak Rena, dan menekan tubuh gadis kecil itu ke dadanya.
Rena menangis sejadi-jadinya, merasakan ketakutan yang membuka pori-porinya saat tangan-tangan iseng tadi mendadak memegang buah dadanya. Rene membiarkan gadis itu membasahi bajunya, sebelum ingatan tentang Rina memaksanya untuk melepaskan pelukannya dan melajukan mobilnya secepat mungkin.

Seminggu setelahnya.

Rene membelokkan mobilnya dengan gerakan seminimal mungkin, berusaha tidak mengubah posisi kepala Rina yang berada di pangkuannya.
"Ahh.." Rene mendesah saat ujung penisnya masuk semakin dalam ke rongga mulut gadisnya.
Tangan kirinya menindah perseneling ke gigi dua, membiarkan laju mobil tetap stabil. Rena menghisap penis di mulutnya, menikmati rasa anyir dan asin itu bercampur di lidahnya. Dikeluarkannya sejenak penis itu dari mulutnya, memandangi dan menikmati air liurnya yang membasahi batang penis di depan matanya. Bibirnya turun dan mencium ujung penis itu dan kemudian menelannya lagi ke dalam mulutnya.
"Mmmhh.." Rene menikmati gerakan lidah gadisnya yang menyapu kulit batang penisnya dengan gerakan liar.
"Yang..keluar nih.." Rene berkata lirih.
Rina mengulurkan tangannya ke kotak tissue yang ada di jok belakang, mengambil segenggam tissue, menghisap penis Rene sekuat tenaga, mengeluarkannya dari mulutnya, dan menutup bibir penis itu dengan tissue.
"Aarrgghh.." Rene mengerang saat spermanya keluar membasahi tissue yang menutupi ujung penisnya.

Rina tersenyum melihat ekspresi kekasihnya. Rene merasa sakunya bergetar. Diambilnya HP dari sakunya, membiarkan Rina sibuk membersihkan cairan sperma yang tersisa, dengan tissue.. dengan kecupan bibirnya.. dengan lidahnya..

'Sial, jangan sekarang.'

Rene menekan tombol merah di HP-nya.
"Siapa?"
"Ah.. anak-anak, pasti deh ngajak jalan."
"Ya udah, kita pulang saja, aku ngerti kok." Rene tersenyum dan merasakan kancing celananya terpasang kembali.
"Oke.. thanks, love you so much", Rene mengecup bibir Rina dan merasakan sisa-sisa sperma di ujung bibir gadisnya.
"Ada apa?"
"Ngga pa-pa.. aku sedih saja.."
Rene tertawa kecil, "Hahaha.. ada apa sih?"
"Ntar.. ada kakak.." Rena menutup speaker telpon dengan telapak tangannya, menunggu sosok Rina yang bersiul-siul menghilang dari hadapannya.

"Halo?"
"Iya.. ada apa adik kecil?"
"Aku ngga kecil lagi!"
Rene tertawa, matanya menatap ke depan, menghindari sebuah sepeda motor yang melaju kencang.
"Iya deh, adik besar.."
"Ngga mau besar.. tua.." Susah.
"Ada apa sih..?"
"Ngga pa-pa, pingin aja ngobrol ama kamu.."
"Hahahaha.. masih ngga berani keluar?"
Rena merasa wajahnya merona, "Iya.."
"Besok kujemput pulang sekolah?"
"Iya.. eh.. kutunggu loh.. bener ya!"
Rene merasakan ketidak sabaran yang lazim dari seorang gadis ABG, tertawa kecil dan berkata, "Oke, tungguin aja."

Rene tertawa melihat tubuh Rena yang tenggelam dalam baju yang kebesaran itu. Rena mengerang dari balik baju, "Jahat. Masa aku disuruh pakai yang begini.." Rene tertawa lagi. Kali ini lebih keras. Rena kembali masuk ke dalam kamar pas, dan keluar beberapa saat kemudian sambil cemberut, mengembalikan baju hip-hop itu ke gantungan, tanpa memperdulikan pandangan Mbak penjaga stan yang mencemooh. Rene mengusap kepala Rena dengan buku jarinya. Membiarkan Rena menggelengkan kepalanya dengan sebal. "Makan yuk."

Rene memperhatikan Rena menyantap paha ayam itu dengan penuh perhatian.
'Ah, desahnya dalam hati', ini sudah yang kedua kalinya, tapi getaran ini.. sejenak Rene terngiang sebuah pepatah Jawa 'tresno jalaran soko kulino'.. dan bibirnya tersenyum.
"Apa liat-liat?" Rena menyerang bertanya.
"Ge-er deh.. aku ngeliatin ayammu, kalo ngga abis.." Keduanya tertawa dan menghabiskan makanan mereka.

Seminggu setelah kejadian terakhir.. di tengah hujan lebat..

"Mmmhh.." Rena mengeluh lirih, "Rene.. hh.." Rene mengecup bibir gadis kecil itu dengan perlahan, membiarkan gadis itu mengeluh.
"Rena.. aku sayang kamu.." Tangannya menyingkap baju si gadis, memegang buah dada si gadis yang terasa kencang di telapak tangannya.
"Ahh..", Rena memejamkan matanya, merasakan untuk pertama kalinya disentuh oleh seorang lelaki, seorang lelaki yang menjadi idolanya sejak kejadian di depan apotik tempo hari.
Rene menempelkan bibirnya lebih keras.. menenggelamkan lidahnya ke dalam rongga mulut si gadis kecil.. memaksa lidah si gadis untuk bergerak mengiringinya.
"Mmmhh.." Rena mengeluh lagi saat tangan Rene masuk ke dalam bra-nya, memainkan puting buah dadanya, mengangkat lengannya untuk merangkul leher pahlawannya.
Rene memainkan puting si gadis dengan gerakan yang lembut, menahan gejolak nafsunya sendiri, menundukkan kepalanya, dan mengecup puting itu dengan perlahan, merasakan lengkungan tulang punggung si gadis seiring dengan desahannya.

"Rene.. sudah dong.. ahh.. hh.." Rene menghentikan hisapannya, memandang mata Rena yang mulai berkaca-kaca, mengembalikan bra si gadis ke posisi semula.
Rena membiarkan Rene mengecup bibirnya, menikmati kasih sayangnya yang menggebu, dan memeluk kepala Rene yang tenggelam di dadanya. Kehangatan yang mereka rasakan saat itu membuat kaca mobil mengembun, dan mengingatkan mereka akan seseorang yang dengan sabar menunggu kedatangan McDonalds pesanannya di rumah tanpa curiga.

Dua hari kemudian, di sebuah hotel kelas menengah.

"Ahh.. ah.. Rene.. hh..", Rina mengerang, menggigit bibir bawahnya, merasakan keperihan yang ditimbulkan oleh tekanan penis kekasihnya yang semakin dalam ke kemaluannya.
Rene merasakan nafasnya mulai memburu. Ia mengangkat tubuhnya dan melihat batang penisnya yang sudah setengah tenggelam dalam kemaluan gadisnya, digerak-gerakkannya pinggulnya, menekan penisnya lebih dalam, untuk kemudian menariknya keluar supaya dapat mendengar gadisnya mengerang di bawahnya.
"Ahh.." Rene mengeluh penuh kenikmatan.

Rina mengulurkan tangannya, merangkul leher Rene, menempelkan bibir kekasihnya ke ujung buah dadanya, menggerakkan pinggulnya untuk menikmati penetrasi kekasihnya, sementara rasa perih yang semula dirasakannya perlahan menghilang, berganti dengan kegelian dan kenikmatan yang luar biasa, yang memaksanya mengeluh dan mengerang dalam nafsu yang membara di benaknya.
"Ahh.. Rina.. ah.. hh" Rene merasakan nafsunya yang mulai beranjak ke ubun-ubun.
Pinggulnya bergerak semakin cepat, menggesek dan menusuk kemaluan gadisnya. Rina menjerit tertahan, memeluk dan mencakar punggung Rene, merasakan sedikit sakit saat liang vaginanya menelan seluruh batang penis kekasihnya, gesekan-gesekan itu menambah rasa geli dan nikmat di seluruh tubuhnya.

"Rene.. ahh.. ahh.. hh.." Rene mencabut keluar penisnya, mengeluarkan spermanya yang berwarna kemerahan di atas permukaan perut gadisnya.
Rina mengulurkan tangannya, menggenggam dan meremas batang penis yang menempel di perutnya, menikmati ciuman kelelahan Rene di bibirnya dan dadanya, dan menggunakan tangannya yang bebas untuk menyeka air matanya.

Awal minggu kedua, purnama kedua, di dalam mobil.

"Trus.. diapain?" Rene tertawa melihat kepolosan gadis kecil ini.
"Nih.. digini'in.."
"Oke." Rene mendesah lirih saat jemari Rena memainkan batang penisnya yang menegang.
Tangannya terjulur meremas buah dada si gadis yang menggantung saat si gadis kembali membungkuk. Rena menikmati desahan pahlawannya, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu bentuk batang penis dalam genggamannya, ujungnya yang kemerahan, uratnya yang menonjol dari kulitnya..
'Ah.. jadi begini wujudnya.' Rina menggerak- gerakkan tangannya sesuai yang dicontohkan Rene kepadanya, sedikit terhanyut oleh sentuhan-sentuhan Rene pada payudaranya.
"Awww.. ihh.." Rena menarik kepalanya ke belakang ketika semburan sperma itu nyaris mengenai wajahnya.
"Ahhkk.. sori.. sori.. maaf.." Rene sempat kikuk setelah sadar dari buaian kenikmatan ejakulasinya.
Menatap mata Rena yang bertanya-tanya, mengambil tissue dari jok belakang, dan menyeka ujung kemaluannya, sedikit geli melihat ceceran sperma yang mengenai permukaan tombol klakson mobilnya.
"Lengket..", Rena bergumam sambil memainkan sperma yang terselip di jemarinya.
Rene tertawa lirih dan membersihkan jemari gadis kecilnya dengan tissue.
"Itu yang namanya sperma..", Rene nyaris terbahak melihat mulut Rena yang meringis dan alisnya yang berkerut.

'Aku sayang kamu gadis polos..', ucapnya dalam hati.

Rena mengamati Rene membersihkan tangannya, dan melihat penis pahlawannya perlahan mengecil.
Tanpa dapat ditahannya, Rena tertawa, "Ihh.. kecil.. cuman segitu rupanya..", Rene tersipu dan bergegas membenahi celananya

Akhir minggu kedua, purnama kedua.

Rena mengeluh panjang lebar. Menunggu di tepian jalan seperti perek bukanlah tipe pekerjaan yang disenanginya. Dilihatnya matahari yang sudah naik tinggi di atas kepalanya. Sial. Dihampirinya box telepon di belakangnya, dan setelah memasukkan koin seratus terakhirnya, jarinya memencet-mencet nomor telepon rumahnya.
'Brengsek', umpatnya dalam hati mendengar suara penjawab telpon, "Disini rumah keluarga Ta..", Rena membanting gagang telpon itu, membiarkan beberapa pasang mata pengunjung warung menatap heran ke arahnya. Rena melangkah ke pinggir trotoar dan melambaikan tangannya.

"Awas.. yah! Jalan melulu.. lupa sama adiknya! Kuberitahu Mama dan Papa kalau sudah pulang!", Rena menggeram dan mengomel selama perjalanan.
Sopir taksi itu menatapnya geli dari balik kaca spion. Rena melengos dan mengalihkan pandangannya keluar jendela

Sementara itu, sepuluh menit setelah Rena menyetop taksi.

"Ahh.. ahh.. ahh.. ahh.." Rene memegang kedua payudara kekasihnya, menciumi punggung kekasihnya yang putih dan mulus.
Pinggulnya bergoyang-goyang ke depan ke belakang dengan irama yang penuh nafsu. Rina mengangkat pinggulnya, merasakan gerakan pinggul Rene yang agresif, menikmati batang penis yang keluar masuk di liang vaginanya.
"Ahh.. ah..", Rene mengerang dan mengeluh penuh kenikmatan, merasakan setiap himpitan liang kemaluan kekasihnya.
Rina merasakan kulit dada kekasihnya menempel di punggungnya, gerakan pinggul Rene semakin cepat, Rene melepaskan pegangannya pada buah dada Rina dan memeluk pinggangnya dengan kencang, merasakan kepalanya yang terangkat dan peluhnya yang mengucur saat menekan penisnya lebih dalam dan mempercepat gerakan pinggulnya.
"Ahh.. ah.. ah.. ah.. ah..", Rina mengeluh seiring irama pergerakan pinggul Rene.

Rene melepaskan rangkulannya, membiarkan tubuh kekasihnya jatuh menelungkup di pinggir tempat tidur, menggunakan tangannya menarik keluar penisnya dan menyemburkan spermanya ke permukaan pinggul kekasihnya.
"Ahh..", Rene menyeka peluhnya, menindih tubuh Rina yang tertelungkup, membiarkan penisnya menempel di celah pinggul si gadis, dan menciumi belakang kuping dan leher gadisnya yang kelelahan.

"I love you.. honey-bunny.." Rina tertawa lirih.
Dan betapa sepasang mata yang berurai air mata itu menyaksikan setiap adegan tanpa berkedip.

Tamat
Read More

Tuk Ambasuliku

Bogor, 28 Januari
Kebun Raya Bogor
Pagi..

Suasana kebun raya Bogor sangat asri, angin bertiup perlahan mengiringi sarapanku di salah satu rumah makan setempat. BT banget rasanya setelah perutku dikocok-kocok oleh kondisi jalan sekitar puncak. Hari ini aku akan menemui dokter Handayani salah seorang kolegaku di Bogor. Dia dokter spesialis anak. Sesuai dengan profesinya, orangnya sangat ramah dan mungil seperti sosok ideal malaikat kebaikan bagi anak-anak, pasiennya. Yani nama yang singkat, sesuai dg cirinya dalam berkata-kata. Tingginya hanya 158 cm dengan berat 60 kg.

Sore itu aku menunggu di depan ruang prakteknya sambil membaca majalah kesehatan. Setelah memasuki menit ke 118 barulah pintu terbuka wanita mungil itu keluar.. Dengan memakai baju putihnya yang panjang dr. Yani begitulah para pasien dan asistennya memanggil. "Bagaimana Han kabarnya?" tanyaku. "Baek!" katanya. "Mari masuk ke ruanganku.."

Senja..
Didalam ruang praktek dokter, berdua saja..

Tak terasa sudah 1 jam lebih kita mengobrol, dia masih cantik saja seperti dulu walaupun usianya sudah memasuki masa "injury time" 35 tahun dan belum menikah. Mungkinkah dia masih mengharapkan diriku kekasih lepasnya yang sudah terkenal dekat dengan banyak wanita. Dunia ini memang aneh kami berbeda 8 tahun dari faktor usia namun kami bisa berjalan beriringan sampai saat ini. Sore itu aku minta ditensi.

Masih seperti dulu dengan cerewetnya dia marahi aku saat dia tahu diriku memiliki tensi drop. Hypotensi itu memang laggananku sejak aku smp dulu. Maklum aku orangnya suka tidur larut dan kurang olahraga. Ketika dia hampir selesai membereskan perlengkapannya. Kugenggam tangannya yg halus dan wangi khas hand body dengan merek yang masih saja sama seperti saat kita bertemu dulu. Tiba-tiba aku sudah memeluknya dengan lembut. Dia tampaknya masih canggung, sampai akhirnya bibirku sudah menjelajahi jalan-jalan "daerah puncak" aku merasa menyetir mobil sendiri sementara Han (nama mesra yang kuucapkan untuk memanggil dirinya) berada disebelahku.

Kami sudah memasuki KM ke 12 saat tiba-tiba dia melenguh pelan dari tengkuk terus merambat, kini bibir kami telah berpagut saling melepaskan kerinduan. Lidahku bermain dalam mulutnya, kita saling beradu dengan kelembutan. Tangan kananku bergerak perlahan menyingkirkan baju dokternya yg putih. Baju putih itu tidak sampai terbuka. Kemudian mulai kujelajahi pegunungan puncak, melanjutkan perjalananku yang tadi terhenti di KM 12.

Sambil masih menciumnya aku membuka baju yang dipakai Han. Kancingnya kubuka satu-persatu, dengan susah-payah setelah terbuka..ohh! Lagi-lagi masih seperti dulu. Didalam bajunya sebelum bra pasti Han masih memakai singlet sebelum kemudian branya yang berwarna cream serasi dengan warna kulitnya yang kuning. Aku masih ingat ketika kita sedang bermesraan aku tidak berhasil memegang payudaranya secara langsung hanya gara-gara pengait branya tersangkut di singletnya sementara dia tidak bersedia membuka bajunya karena posisi kami saat itu di dalam bis malam yang banyak orang. Han si wanita puritan.

Salatiga, 30 Januari
Sore..
Disebuah warnet didepan kampus swasta di Salatiga.

Aku turun di Poltas. Sebuah perhentian bis kota dari Semarang. Kemudian mencari sebuah hotel untuk mandi, makan dan istirahat setelah sehari ini aku berputar-putar dikota ATLAS. Sekedar menjumpai kolega-kolegaku dari kawan kampus sampai kawan di internet, seharian lamanya. Aku ingin sekali ke Salatiga karena disana salah satu angelku menetap untuk menyelesaikan studynya. Dari Warnet XX tempat dia biasa ngobrol denganku, hingga 10 hari yang lalu tiba era dimana percakapan kami tidak hanya asl pls.. Ato IC, ok gtg dulu dan sebagainya.. i

Inilah percakapan pertama sebagai awal perjumpaan kami di sebuah channel di dal.net..

+ hi
+ :)
= hi
+ pakabar
= baik, thx
= kamu?
+ baek juga, asl pls
= 20/f/sala3
+ ic
= asl kamu?
+ udah khan
+ 24 m mlg
= kerja?
+ yup..

Setelah itu sering kami bertemu dalam waktu-waktu berikutnya. Macam-macam yang kami bicarakan. Kami kondisikan diri kami sebagai sepasang kekasih, tentunya dengan segala kerumitannya. Setelah berjalan beberapa hari dengan intensif, sampailah pada suatu malam aku merasa BT banget. Jadi di papan chat pun diriku tetap ogah-ogahan chat dengannya.

= kamu koq diem
+ ga juga
= khan diem lagi
= kamu pemalu yach!?
+ yup
+ :)
= knp pemalu!?
+ :)
= koq cuman senyum?!
+ yup
+ gpp
= tuch khan jawabnya cuman sedikit2
+ apa tho sayang
+ minta jawaban yg kaya apa?
+ kalo banyak2 saru
+ :)
= saru gimana say?
+ ada aja
= kasih tau donk
+ kamu asli org surabaya
+ pa jkt
= jakarta
+ knapa
+ ko chat ma org sby
+ khan jauh
+ :)
= bukannya kamu yg click aku
+ :)
+ knapa ga kejauhan sayang
= nggak
+ syukurlah
= khan diem lagi
+ abis loe sih ngga ngerangsang gue
+ jadi ya diem aja
= ngerangsang yg gimana say!?
+ ya loe
+ cewek
+ masa ga tau
= cium bibir kamu..
+ whhmm
+ pelan2
= cium bibirmu sambil melumat2 lidah mu..
+ oowwhh
= raba2 dada kamu
+ mang gue cewek
+ dada gue ga ada toketna tau
+ cuman bulu aja
= khan tetep ada dada khan
+ wah loe cowok ternyata
= khan belum selesai ngerabanya..
= sambil menciumi bibirmu, tanganku turun ke bawah..meraba2 punyamu
+ oww
+ aku buka baju kamu
+ kaosmu keatas
+ tampaklah bukit kembarmu
= buka celana kamu..
+ pelan2
+ tongkatku saket neh
= ciumin dada kamu.. sambil terus turun ke bawah
+ aku remas dada kamu
+ kamu menggelinjang
= mmhh
+ aku buka pengait bra kamu di belakang..
+ owww..
+ payudaramu besar skali.. Bagaikan buah mangga yang ranum ..

Braakk!! Meja di komputer ruang sebelah terantuk sesuatu. Aku mengintip dari balik bilikku. Ow ada raksasa yang duduk menempati ruang bilik sebelah. Pembatas ruangan yang tingginya hanya sebatas paha, sehingga memungkinkan diriku untuk melihat sebuah tubuh besar milik user di sebelahku. Dia memakai jeans ketat. Aku taksir beratnya sekitar 80 kilo-an. Walaupun begitu tidak tampak darinya sesuatu yang menunjukkan tanda bahwa mahluk itu wanita atau pria.

Sialan, khayalanku tentang bertemu dengan bidadariku jadi kabur.. padahal aku tadi sudah sampai ke payudaranya.. Shit!! Aku check HP ku, ow ternyata SMS ku sudah dibalas. Ternyata dia tidak menginginkan aku menjemputnya. Dia malah ingin cybersex dulu denganku, before we have a real making love. Gadis gila pikirku. Aku mengiyakan saja. Tapi aku tak yakin bisa leluasa bermain dengan si "dandy" jika itu kulakukan di luar rumah. "By the way the show must go on".

Shit, aku kesal sekali.. ternyata dal.net tidak bisa dipakai, sedangkan HP si Ane gak bisa dihubungi. Akhirnya aku buka situs pusatceritadewasa membaca beberapa kisah baru. Di Bagian eksibisi aku tertarik "Kisah di Dalam Bis Kota". Timbul pikiran gila untuk menjadi tokoh laki-laki yang membawa gunting. Kubuka tasku, tidak kudapati gunting yang ada hanyalah cutter tajam memang tapi agak karatan. Sialan!! Gerutuku, CD siapa yg dikorbankan untuk eksibisi gila ini. Masalah kedua timbul, karena aku sebagai sutradara sekaligus produser harus mencari tokoh sentral wanita.

Aku tengok kanan kiri mungkin ada wanita. Ternyata tidak ada seorang wanitapun. Aku sudah memeriksa setiap sudut. Tinggal satu saja yang terlewati yaitu meja sebelahku. Meja si raksasa itu. Aku masih belum tau apakah ini raksasa betina atau jantan. Hingga nada getar yg kupasang di HPku bekerja. Ow ternyata my angel "Ane". Dia bilang kalo kita menggunakan server undernet saja cybernya. Suaranya terdengar merdu sekali disana bak seorang bidadari atau penyiar radio pramborslah paling tidak, tapi sepertinya aku kenal suara itu. Aku bingung suaranya dekat sekale yah.. sampai aku tersadar suara itu pada saat siempunya suara bathuk keras sekali. Dan suara batuk itu tiada lain adalah suara Miss Giant disebelahku.

Surabaya, 1 Februari
Bungurasih, siang hari..

Akhirnya tiba juga diriku di kota tempat aku terlahir. Enam bulan lagi aku genap berusia 28 tahun. Sebuah usia laki-laki dewasa untuk menikah. Tapi itu belum terjadi kepada diriku, fantasiku masih melambung tinggi. Hal tersebut ditunjang dengan beberapa kali keberhasilanku menggaet gadis-gadis muda usia, yang memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar tentang hubungan sex.

Tak lama kemudian aku sudah terlelap dengan nyaman di pundak gadis Kupang yang akan melanjutkan tujuannya ke Tanjung Perak. Aku bangun begitu dia menggeliat merasa keberatan dengan menyandarnya kepalaku dipundaknya, atau lebih tepatnya agak kedepan yaitu di atas bukit payudaranya sebelah kiri. Posisi kami berdua adalah aku berada di sebelah kanannya. Untung dia diam saja, sehingga aku bisa tenang turun dari bis setelah semalaman aku tertidur pulas diatas payudara seorang gadis. Rejeki, pikirku.

Sore hari..
Junggo ? Batu, di tengah-tengah perkebunan apel yang akan segera dipanen..

Posisiku sudah diatas si Yuke. Butuh waktu lama untuk menstimulasi gadisku yang satu ini hingga membuat dia akhirnya bertekuk lutut. Mulai dari mencumbunya di belakang telinga, menciumi kening, pipi hingga akhirnya berhasil kulumat habis bibirnya yang merekah. Hangat dan basah.

Putingnya yang berwarna coklat kemerahan sudah keras sekali saat aku memainkannya dengan tanganku perlahan. Sebagai unsur stabilisator kukulum lembut-lembut putingnya yang berada di sisi lain. Aku tidak tahu sudah berapa ratus kali namaku disebutnya untuk mengapresiasikan kenikmatan-kenikmatan yang dia dapatkan, dari kejutan-kejutan di kedua payudaranya.

Kini di posisi pamungkas, kubiarkan Yuke membuat formasi "lotus" yang terkenal itu. Aku duduk dengan kedua kaki melebar ke sisi luar. Sedangkan Yuke sedang berusaha keras untuk menembuskan vaginanya pada penisku yang berdiri tegak ke samping. Setelah beberapa kali terpelanting. Espanola gurl inipun berhasil menembuskan benteng terakhirnya hingga amblas. "Mecky-nya" sudah sangat basah. Maklum saja kami sudah melalui fase empat ronde. Sebelum menutupnya dengan Lotus senjata andalan Kamasutra.

Gaya Berdiri dengan memangku Yuke sambil kita berjalan memutar di sekitar pondokan di tengah kebun apel yang dingin dan sunyi. Doggystyle, konvensional, sampai dengan bermain dibawah siraman shower sekaligus kami tujukan untuk recovery tenaga kami. Bagi orang awam apa yang kami lakukan adalah gila. Maklum siapapun tidak akan mau mandi di tengah kebun apel jam sembilan malam seperti apa yang barusan kami lakukan. Bukan karena kami manusia super-yang kuat menahan dingin. Sesungguhnya itu bisa terjadi karena air yang kugunakan di shower sudah kuhangatkan dengan heater. Sebagai seorang mantan mahasiswa elektro dari sebuah perguruan tinggi andalan Indonesia di masa mendatang, tidaklah sulit untukku merakit semuanya itu.

"Ehm.. ehm.. ehm.., gak tau sudah berapakali Yuke melenguh seperti itu. Aku merasa cukup beruntung. Yuke termasuk gadis yang cukup tenang, dan tidak gaduh kalau sedang bermain. Sehingga tdak pernah aku kebingungan membagi konsentrasiku untuk memaksa dia untuk tidak berteriak. Dengan payudaranya yang hanya berukuran 32B sesungguhnya dia tidaklah istimewa. Satu hal yang kusuka darinya. Pertama, dia adalah salah satu violinist favoritku. Setelahnya barusan Vanessa Mae dan Hendry Lamiri. Bond ataupun The Corrs tidak masuk disini, karena kemampuan mereka bermain masih juga ditopang oleh kelebihan fisiknya. Sehingga kalaupun nada yang mereka mainkan fals kita masih terhibur oleh kecantikan wajah para personilnya. Yuke yang blasteran Spanyol dari Mamanya, dan Papanya yang orang Madura, terlahir sebagai seorang gadis yang jangkung.

Tingginya 173 cm melebihi tinggiku yang berkisar hanya 171 cm. Dia mulai mempercepat kocokannya kedalam "penisku" yang bersiap-siap meledakkan senjatanya yang paling mutakhir. Kalau mau mengikuti trend muthakhir senjata James Bond 007, berarti walaupun kondisi di luar sedingin dunia esnya "lawan" Pierce Brosnan maka sperma yang akan kumuncratkan kualitasnya adalah sekuat laser yang bisa menghancurkan kebekuan di sekitar pondokan kebun apel. Atau paling tidak kalau sperma itu berhasil membuahi sel telur Yuke maka juniorku akan menjadi seorang bocah yang "mantap" punya. Fisik seperti mamanya, tinggi dan bersih kulitnya. IQ serta EQ-nya seperti diriku yang orang Jawa. Ow Hans.. itulah kata yang diucapkan Yuke saat menyentuh klimaks di sessi "Lotus", aku sudah tidak dapat berkata banyak seperti menyumpah ato memaki, selain menggigitkan keras gigi-gigiku yang tajam kepada bantal busa yang ada di sebelahku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa payudara Yuke, jika bantal yg kugigit itu adalah payudaranya yang mungil..

Malang, 2 Februari
Tepat pukul 21.00 disebuah kafe di kawasan Tlogomas..
Iringan musik live, membawakan lagu stranger by the day, berturut-turut dengan Sacrifice-nya the Creed

Ambasuli tampak bangga menggandeng diriku, "bajingan kecil"-nya ini. Dikenalkannya diriku kepada teman-teman kampusnya yang kebetulan malam itu ada di sana bersama pasangannya. Dari seberang sana tampak beberapa cowok dengan pandangan mata sinis dan "mata-mata tidak pandai", mungkin mata-mata para cowok yang melihat kami dengan bertanya-tanya. Suli.., suli apa yang kamu dapatkan dari seorang "bandit kecil" itu sebagai cowokmu? Aku hanya membalas pertanyaan itu dengan senyumanku yang dingin dan dengan menampakkan sedikit gigi-gigiku yang tajam.

Ambasuli, mungkin diri bajingan kecilmu ini malam nanti sudah harus segera berkaca untuk membersihkan muka-muka kotor hati dan fisiknya dari jerawat, debu dan asap bis Bogor-Salatiga maupun saputan kabut insektisida apel Junggo.

Tamat
Read More