Showing posts with label umum. Show all posts
Showing posts with label umum. Show all posts

Thursday, August 31, 2017

Akibat Nonton Vcd


Nama saya Joe dan saya telah banyak mengirimkan cerita-cerita kepada 17tahun.com. Jika anda ingin mengirim e-mail (terutama wanita), anda bisa mengirimkannya kepada saya. Cerita-cerita yang telah saya kirim antara lain: "ASMARA CEWEK BEIJING", "KISAH PETUGAS ASURANSI" dan "KISAH KASIH mIRC". Sekarang saya akan menceritakan sesuatu yang benar-benar beda karena ini terjadi pada saya ketika saya berada di Australia untuk melanjutkan kuliah saya.

Ketika saya berada di Australia untuk pertama kalinya, saya diharuskan untuk mengikuti program untuk memfasihkan bahasa Inggris saya sehingga saya menjadi lancar dalam berbicara bahasa Inggris. Ketika saya sedang berada di program bahasa Inggris tersebut, saya mengenal seorang cewek Jepang yang cantik sekali. Namanya adalah Kaori Uehada. Suaranya bagus sekali bagaikan penyanyi Jepang asli dan tubuhnya elok sekali. Kulitnya putih dan berambut panjang. Yang paling saya sukai darinya adalah dadanya yang kira-kira berukuran 36B karena setiap kali dia berada di kelas, saya melihat bahwa sebagian dari payudaranya sempat keluar karena BH-nya tidak cukup untuk menutupi payudaranya yang terlalu besar.

Perkenalan saya dengan Kaori dimulai ketika jam istirahat, saya sekedar iseng-iseng menanyakan segala sesuatu kepadanya, tentunya sekalian saya mempraktekkan bahasa Inggris saya. Kami bercerita mengenai asal-usul kami bahkan kadang-kadang Kaori menanyakan mengenai kehidupan seks saya dan hal itu membuat kami bertambah akrab. Saya dan Kaori sering berjalan bersama-sama dan banyak orang yang menganggap saya adalah pacar Kaori walaupun sesungguhnya kami adalah teman akrab saja. Saya dan Kaori sering pergi berduaan ke sebuah kasino Burswood yang sangat terkenal di sebuah kota di Australia.

Suatu hari saya berada di apartement sendirian. Saat itu saya masih tinggal di boarding di universitas saya dan saya masih belum memiliki banyak teman. Hari itu adalah hari minggu dan saya sedang membersihkan rumah sekaligus menyetrika pakaian. Ketika saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya dan saya ingin mandi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh ketukan pintu dan saya sangat kaget ternyata Kaori sudah di depan pintu. Saya mempersilakan Kaori masuk dan Kaori duduk di sebuah bangku yang cukup sederhana.

Kami bercerita banyak mengenai keadaan negara masing-masing. Ketika saya sedang asyik menceritakan keadaan Indonesia, Kaori secara tidak sengaja melihat sebuah VCD yang berada di atas meja belajar saya. Tiba-tiba dia bangkit meninggalkan saya dan mendekati meja belajar saya. Setelah itu, dia meminta saya untuk memutar VCD tersebut. Saya sempat malu dan tidak menuruti kemauannya tetapi dia terus-menerus memegang tangan saya dan menarik tangan saya serta menyuruh saya untuk memutarnya. Akhirnya saya menuruti kemauannya dan saya mengajaknya ke tempat tidur saya karena saya selalu menonton VCD di komputer yang berada di kamar tidur saya.

Saya kemudian menyalakan Power komputer dan setelah semuanya siap, saya memasukkan VCD ke dalam CD-ROM dan kami nonton bersama-sama. Kaori duduk di atas ranjang sementara saya duduk di bangku yang terletak di dekat komputer. Saat pertengahan film, saya sangat terangsang dan sekilas saya melihat Kaori yang tengah menyelinapkan tangannya ke dalam celana dalamnya sambil mendesah-desah. Saya sempat kaget karena saya melihat Kaori sedang masturbasi sambil menonton VCD Jepang tersebut. Saya sempat berpikir mungkin dia mengerti maksud film tersebut tetapi walaupun saya tidak mengerti bahasa Jepang, saya juga terangsang saat menonton adegan panas di komputer tersebut apalagi saat itu batang kemaluan saya sudah menegang sehingga orang yang mendekati saya pasti dapat melihat batang kemaluan saya yang menegang di dalam celana pendek yang saya pakai.

Kemudian saya mendekati Kaori yang sedang mengelus-elus dirinya sambil menutup matanya. Saya mulai membuka pakaian Kaori dan saya kaget bercampur senang karena tidak ada perlawanan dari dalam diri Kaori dan saya yakin dia juga membutuhkannya karena dia sudah terangsang hebat. Setelah saya melepaskan seluruh busana Kaori, saya mulai mendekati liang kemaluannya dan mulai menjilatinya bagaikan orang kesetanan. Saya tidak memperdulikan komputer yang masih menyala bahkan suara desahan-desahan dari komputer bercampur desahan alami dari Kaori membuat saya menjadi bertambah semangat dan menjadi semakin gila dalam menyedot dan menjilat klitoris Kaori. Saya sempat merasakan cairan kewanitaan cewek jepang ini membasahi wajah saya yang sedang asyik mencium dan menjilat-jilat liang kenikmatan Kaori.

Setelah Kaori mencapai masa klimaksnya, giliran Kaori yang menyuruh saya berbaring dan sekali-sekali Kaori juga menghisap kedua biji peler saya bergantian dengan gigitan-gigitan kecil. Dan perlahan turun ke bawah menjilati lubang pantat saya dan membuat lingkaran kecil dengan ujung lidahnya yang terasa sangat liar dan hangat. Saya hanya dapat berpegangan erat ke bantal, sembari mencoba menahan rintihan. Saya dekap muka saya dengan bantal, setiap sedotannya terasa begitu nikmat sehingga membuat saya seperti di awang-awang. Nafas saya tidak dapat diatur lagi, pinggul saya menegang, kepala saya mulai pening akibat dari kenikmatan yang terkonsentrasi tepat di antara selangkangan saya. Mendadak saya merasa kemaluan saya seperti akan meledak. Karena rasa takut dan panik, saya menarik pinggul saya ke belakang. Dengan seketika, kemaluan saya seperti layaknya benda hidup, berdenyut dan menyemprot cairan putih yang lengket dan hangat ke wajah dan rambut Kaori.

Saya masih belum puas karena saya belum menikmati liang kenikmatan cewek Jepang itu, maka saya langsung bangkit dengan penuh gairah dan tanpa menunggu jawabannya saya segera mengatur posisi badannya. Kedua kakinya saya angkat ke ranjang. Kini dia tampak telentang pasrah. Batang kemaluan saya sudah tak sabar lagi untuk mendarat di sasaran. Namun saya harus hati-hati. Dia masih perawan sehingga harus sabar agar tidak kesakitan. Mulut saya kembali bermain-main di liang kemaluannya. Setelah kebasahannya saya anggap cukup, batang kemaluan saya yang telah tegak sempurna saya tempelkan ke bibir kemaluannya.

Beberapa saat saya gesek-gesekkan batang kemaluan saya di sekeliling liang kenikmatannya sampai Kaori makin terangsang. Kemudian saya coba memasukkan perlahan-lahan ke celah yang masih sempit itu. Sedikit demi sedikit saya maju-mundurkan sehingga makin melesak ke dalam. Butuh waktu lima menit lebih agar kepala kemaluan saya masuk seluruhnya. Lalu kami istirahat sebentar karena dia tampak menahan nyeri dan tiba-tiba keluarlah darah dari dalam liang kenikmatannya dan saya yakin bahwa itu adalah darah perawannya dan saya bangga sekali karena saya dapat mengambil perawan cewek Jepang.

Beberapa jam saya menggosok-gosokkan batang kemaluan saya di dalam liang kenikmatannya, dia menyukainya dan nampaknya dia hampir mendekati klimaks dan saya sendiri tidak tahu itu klimaksnya yang keberapa dan begitu juga saya. Saya mempercepat goyangan, lalu saya menyemprotkan cairan mani saya di dalam liang kenikmatan Kaori dan di saat yang bersamaan, Kaori berteriak dan saya merasakan batang kemaluan saya seperti dipijat-pijat oleh liang kenikmatannya dan tak lama kemudian, batang kemaluan saya seperti dialiri oleh cairan kewanitaannya. Kemudian saya memeluk Kaori dengan erat sambil mencium bibirnya dan memainkan lidah saya dalam mulut Kaori.

Kami bermain seharian penuh karena tidak lama setelah permainan kami, saya menjadi terangsang ketika melihat wajahnya yang seperti wajah bintang film dan saya tidak perduli walaupun dia sudah berumur 27 tahun dan tentunya umurnya 5 tahun di atas saya. Saya sangat mencintainya dan sampai sekarang saya merindukan belaiannya. Kaori, kapan kita bisa bercinta lagi?


TAMAT

Read More

Mesum Di Warnet



Sebelumnya saya akan memberitahu bahwa cerita sex ini terjadi sebelum saya mengenal lebih dalam soal internet. Ketika saya baru saja masuk kuliah, saat itu saya masih belum begitu kenal dengan internet, dan saya masih dalam taraf pemula dan baru sampai dalam soal hardware. Cerita sex ini terjadi yang sejak berkenalan dengan seorang teman di ITK saya mulai mengenal apa itu internet. Dan saya suka sekali pergi ke warnet dan hampir tiap hari saya berada di sana.

Semakin lama saya suka sekali ber-chatting ria sampai suka lupa waktu dan pulang malam hari. Sebelum memulai kisahku ini aku ingatkan agar selalu ingat dengan ceritaku. Karena hanya yang selalu memberikan cerita cerita terbaru. Langsung saja ku mulai cerita ku ini. Pada hari sabtu, saya seperti biasa suka nongkrong di warnet mulai jam 18:00, dan saya langsung mengecek e-mail. Setelah selesai saya suka browsing sambil chat. Pada saat itu hujan deras mengguyur seisi kota disertai angin. Pada saat saya membeli minuman (di dalam warnet), saya melihat dua orang gadis yang memasuki warnet. Mereka terlihat basah kuyup karena kehujanan, dan ketika itu mereka mengenakan kaos warna putih dan biru (cewek yang satunya), dan celana pendek. Dari balik kaos putih basah itu saya bisa melihat sebuah BH warna merah muda, juga sepasang payudara montok agak besar. Saya kembali ke meja dan melihat mereka berdua menempati meja di depan saya. Sambil menunggu jawaban dari chat, saya mencuri pandang pada dua gadis itu.

Semakin lama saya lihat saya tidak bisa konsentrasi, mungkin karena cara duduk mereka yang hanya mengenakan celana pendek itu, sehingga terlihat paha putih mulus dan juga sepasang buah dada dalam BH yang tercetak jelas akibat baju yang basah. Pada jam 20:00, listrik di warnet itu padam. Para penjaga warnet terlihat sibuk memberitahu bahwa listrik akan segera menyala dan meminta agar netter sabar. Tetapi 30 menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda bahwa listrik akan menyala sehingga sebagian netter merasa tidak sabar dan pulang. Sedangkan saya masih di dalam warnet dan ingin ikut pulang, tapi saya tidak bisa karena di luar hujan masih deras dan saya hanya membawa motor. Begitu juga dengan 2 gadis di depan saya, mereka sudah membayar uang sewa dan tidak bisa pulang karena hujan masih deras. Mereka hanya bisa duduk di sofa yang disediakan pihak warnet (sofa yang digunakan untuk netter apabila warnet sudah penuh dan netter bersedia menunggu), wajah mereka tampak gelisah terlihat samar-samar akibat emergency light yang terlampau kecil, mungkin karena sudah malam dan takut tidak bisa pulang. Melihat kejadian itu saya tidak tega juga, apalagi hawa menjadi dingin akibat angin yang masuk dari lubang angin di atas pintu. Saya pun mendekati mereka dan duduk di sofa.

Ternyata mereka enak juga diajak ngobrol, dari situ saya mengetahui nama mereka adalah, Tuti (baju putih) dan Erni (baju biru). Lagi enak-enaknya ngobrol kami dikejutkan oleh seorang cewek yang masuk ke dalam sambil tergesa-gesa. Dari para penjaga yang saya kenal, cewek tadi adalah pemilik warnet. Saya agak terkejut karena pemilik warnet ini ternyata masih muda sekitar 25 tahun, cantik dan sexy. Cewek tadi menyuruh para penjaga pulang karena listrik tidak akan nyala sampai besok pagi. Setelah semua penjaga pulang, cewek tadi menghampiri kami. “Dik, Adik bertiga di sini dulu aja, kan di luar masih hujan, sekalian nemenin Mbak ya..” kata cewek yang punya nama Riyas ini. Kemudian berjalan ke depan dan menurunkan rolling door. “Saya bantu Mbak,” kataku. “Oh, nggak usah repot-repot..” jawabnya. Tapi aku tetap membantunya, kan sudah di beri tempat berteduh.

Setelah selesai aku menyisakan satu pintu kecil agar kalau hujan reda aku bisa lihat. “Ditutup saja Dik, dingin di sini..” kata Riyas, dan aku menutup pintu itu. Entah setan mana yang lewat di depanku, otak ini langsung berpikir apa yang akan terjadi jika ada tiga cewek dan satu pria dalam sebuah ruangan yang tertutup tanpa orang lain yang dapat melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Aku kembali duduk di sofa sambil berbincang dengan mereka bertiga jadi sekarang ada empat orang yang tidak tahu akan berbuat apa dalam keremangan selain berbicara. “Sebentar ya Dik, saya ke atas dulu, ganti baju..” kata Riyas. Aku bertanya dengan nada menyelidik, “Mbak tinggal di sini ya?” “Iya, eh kalian di atas aja yuk supaya lebih santai, lagian baterai lampu sudah mau habis, ya..” katanya. Cerita Seks Dewasa Kami bertiga mengikuti Mbak Riyas ke atas. Warnet itu terdapat di sebuah ruko berlantai tiga, lantai satu dipakai untuk warnet, lantai dua dipakai untuk gudang dan tempat istirahat penjaga, lantai tiga inilah rumah Riyas. Menaiki tangga ke lantai tiga, terdapat sebuah pintu yang akan menghentikan kita apabila pintu tidak dibuka, setelah masuk kami tidak merasa berada di sebuah ruko tapi di rumah mewah yang besar, kami disuruh duduk di ruang tamu. Riyas bilang dia akan mandi dan menyalakan sebuah notebook agar kami bertiga tidak bosan menunggu dia mandi.

Ternyata notebook itu tidak memiliki game yang bisa membuat kami senang. Tapi aku sempat melihat shortcut bertuliskan duniasex, aku menduga ini adalah permainan, ketika kubuka ternyata isinya adalah cerita yang membuat adikku berdiri. Tuti dan Erni pun agak malu melihat cerita-cerita itu. Tapi yang membuat aku tidak tahan adalah mereka tidak memperbolehkan aku menutup program itu dan mereka tetap membaca cerita itu sampai habis. Aku pun hanya bisa terbengong melihat mereka berada di kiri dan kananku. Setelah selesai membaca, Tuti merapatkan duduknya dan aku bisa merasakan benda kenyal menempel di lengan kananku. Erni pun mulai menggosokkan telapak tangannya ke paha kiriku. Sambil mereka melihat cerita yang lain, aku merasakan sakit di dalam celanaku. Aku sudah tidak bisa konsentrasi pada cerita itu, mereka semakin menjadi-jadi, bahkan Tuti membuka kaosnya dengan alasan merasa panas, sedangkan Erni membuka kaosnya dengan alasan kaosnya basah dan takut masuk angin. Aku merasa panas juga melihat tubuh mereka, sambil membetulkan posisi adik, aku mengatakan kalau hawanya memang panas dan aku membuka baju juga.

Kini tangan mereka berdua dirangkulkan di tengkukku, aku semakin panas karena lenganku merasa ada dua benda kenyal yang menghimpit tubuhku dari kiri dan kanan. Akhirnya jebol juga iman ini, aku menaruh notebook itu di meja di depanku dan aku menciumi Tuti dengan nafsu yang sudah memuncak, Tuti pun tak mau kalah sama seranganku, dia membalas dengan liar. Sedangkan Erni sibuk menciumi dan menjilati dadaku. Tangan kiriku kulingkarkan pada Erni dan mulai meremas buah dada yang masih tertutup BH itu, sedangkan tangan kananku kulingkarkan di tubuh Tuti dan memasukkan ke dalam BH dan meremas buah dadanya. Erni mulai membuka celanaku dan menghisap penis yang sudah tegang itu. “Ouhh.. mmhh.. yahh..” aku mulai menikmati jilatan Erni pada kepala penisku. Tuti pun jongkok di depanku dan menjilat telurku. Aku hanya bisa pasrah melihat dan menikmati permainan mereka berdua. Kemudian Riyas keluar dari kamar dengan selembar handuk menutupi tubuh, dia menarik meja di depanku supaya ada cukup tempat untuk bermain. Riyas berlutut sambil membuka celana Tuti. Setelah celana Tuti lepas, dia mulai menghisap vagina Tuti. “Ooohh.. Ssshh.. ahh..” Tuti mendesah. Tak lama kemudian Tuti membalikkan tubuhnya dan sekarang posisi Riyas dan Tuti menjadi “69″.

Aku pun sudah tak tahan lagi, segera kuangkat Erni dan membaringkannya di lantai dan membuka celananya. Setelah terbuka aku langsung menghisap vagina yang sedang merah itu. “Auuhh.. Ooohh.. Sayang..” desahan Erni semakin membuatku bernafsu. Dengan segera aku mengarahkan penisku ke vagina Erni, dan mulai menusukkan secara perlahan. Erni merasa kesakitan dan mendorong dadaku, aku menghentikan penisku yang baru masuk kepalanya itu. Selang agak lama Erni mulai menarik pinggangku agar memasukkan penis ke vaginanya, setelah masuk semua aku menarik perlahan-lahan dan memasukkannya kembali secara perlahan-lahan. “Ahh.. ayo Sayang.. ohh.. cepat..” Aku pun mulai mempercepat gerakanku. Dari tempatku terlihat Tuti dan Riyas saling menggesek-gesekkan vagina mereka. “Auuhh.. oouuhh.. iyahh.. yahh.. sshh.. hh..” desahan Erni berubah menjadi teriakan histeris penuh nafsu. Tak lama kemudian Erni mencapai orgasme, tapi aku terus menusukkan penis ke arah vagina Erni. “Gantian donk, aku juga pingin nih..” kata Tuti sambil menciumi bibir Erni. Aku pun menarik penisku dan mengarahkan ke vagina Tuti setelah dia telentang.

Ketika penisku masuk, vaginanya terasa licin sekali dan mudah sekali untuk masuk, rupanya dia telah mengalami orgasme bersama Riyas. Tampaklah Erni dan Riyas tertidur di lantai sambil berpelukan. Sedangkan aku terus menggenjot tubuh Tuti sampai akhirnya Tuti sudah mencapai puncak dan aku merasakan akan ada sesuatu yang akan keluar. “Aahh..” suara yang keluar dari mulutku dan Tuti. Cerita Seks Dewasa Akhirnya kami berempat tertidur dan pulang pada esok paginya. Setelah kejadian itu aku tidak pernah bertemu dengan Tuti dan Erni. Riyas sekarang sudah menikah dan tetap tinggal di ruko itu. Sedangkan aku masih sibuk dengan urusan kerja dan tidak pernah ke warnet itu lagi karena sudah ada sambungan internet di rumahku.
Read More

Memerawani Ermita



Namaku Chepy, 22 tahun, mahasiswa di sebuah universitas swasta ternama di Jakarta.
(Sinopsis: Tokoh utama cerita adalah Robby (Aku), tamatan MIT yang direkrut perusahaan internasional yang bermarkas besar di New York. Tujuh tahun bekerja, Robby dikirim perusahaannya untuk membuka kantor cabang di Jakarta untuk penugasan setahun. Di Jakarta Robby terjerat api asmara yang membakar dengan gadis pelajar SMU anak keluarga warga perkampungan kumuh wilayah pinggiran Jakarta bernama Ermita. Walau dari keluarga miskin, Ermita ternyata memiliki kepribadian yang lain dari yang lain yang membuat Robby luluh. Ini adalah kisah percintaan yang indah dengan adegan detail persetubuhan dahsyat saat Robby mengambil keperawanan Ermita sampai ke detik-detik kepala penis Robby merobek selaput dara gadis kampung Jakarta namun sangat cantik dan berbodi aduhai itu. Selamat menikmati. Sato Sakaki). 

Aku yakin belum banyak yang diperbuat Andi pada dirinya sewaktu aku membuka pintu depan dan melihat mereka di ruang tamu. Disamping pemuda itu dia tersandar di sudut sofa dengan wajah merah saga, rambut awut-awutan dan blus sekolah yang acak-acakan, kerut-merut di bagian dada.

“Kok cepat pulangnya Om?” Andi tidak kelihatan kikuk sama sekali.
“Ah biasa”, jawabku, “Sudah lama?”, kupandang gadis itu sekilas yang hanya menundukkan wajah tak berani memandangku. Menilik penampilan dengan seragam yang kelihatan setengah lusuh dan tas sekolah butut yang tergeletak tak jauh di depannya bisa ditebak dia warga kampung pinggiran. Entah darimana dia disambar keponakanku. Biasanya pemuda playboy itu membawa pacar cewek gedongan sesama mahasiswa kampus.

“Andi, di kulkas barangkali ada coca-cola.”
“Terimakasih Om, nanti kami ambil.”

Aku terus masuk ke dalam membuka kunci kamarku, ganti pakaian. Rasanya lega bebas dari dasi dan business suit di udara gerah Jakarta. Lalu seperti biasa sepulang kantor aku ke dapur memasukkan empat mangkok beras ke rice cooker. Aku memang hanya tinggal sendirian di rumah kontrakan tiga kamar yang cukup besar ini. Ibu Andi kakak-iparku menawarkan pembantu tetapi kutolak. Di apartemenku di New York-pun aku biasa mengurus keperluanku sendiri. Pernah Andi kuajak tinggal bersamaku, tetapi karena terlalu jauh dari kampusnya dia tidak betah dan memilih tinggal di sekitar kampus saja, hanya sekali-sekali dia datang membawa pacarnya pada saat dia kira aku tidak di rumah. Dia punya duplikat kunci untuk itu.

Tapi sebenarnya walau sedang di rumahpun aku tak begitu peduli pada apa yang diperbuat Andi dengan pacarnya di ruang tamu. Karena aku juga bukan orang suci. Terkadang aku juga membawa teman wanita yang terkadang kuperam beberapa hari di kamarku kalau dia mau. Walaupun aku tentu saja hati-hati jangan sampai nanti terpaksa mengawini mereka. Maksudku terjebak oleh salah seorang dari mereka.

Dari dapur aku terus ke kamar di sebelah kamar tidurku yang kujadikan ruang kerja, menekuni hingar-bingar lalulintas internet dan tenggelam dalam keasyikan sampai Andi muncul mengejutkanku.

“Om saya mau beli nasi bungkus, apa om mau pesan?”

“Tidak, om tadi masak nasi, terimakasih.”

“Saya tinggal Mita sebentar Om.” Aku menatap wajah Andi. Kuberi dia isyarat supaya mendekat. “Hati-hati kau Andi. Kalau dia hamil dia tuntut kau bertanggungjawab. Apa kau sudah siap jadi suami?”

“Ah saya tidak sejauh itu, Om”, Andi menyeringai.

“Ya, hati-hati saja”, kataku pelan.

Dan Andi keluar. Sebentar kemudian terdengar sepeda motornya meninggalkan gerbang halaman rumahku.

Aku masih mengutak-atik komputer sekitar limabelas menit ketika kudengar suara halus dari pintu kamar. “Om, apakah saya boleh memakai kamar kecil?” Aku menoleh ke arah datangnya suara merdu itu. Amboi mulut yang sempurna dengan bibir penuh dan sensual. “Oh ya ada di belakang. Atau pakai saja kamar mandi di kamar Om.” Aku bangkit dari duduk dan m*****kah melewatinya untuk menunjukkan kamar mandi dalam kamarku. Dia masuk dan aku memperhatikan bentuk tubuhnya. Bodi yang cukup memenuhi estetika keindahan. Walau ada kesan perkampungan kumuh, harus kuakui dia lumayan cantik.

Aku menunggu di pintu kamar sewaktu dia keluar kamar mandi tak s***** lama. Masih berjalan menunduk dia mengucapkan terimakasih.

“Siapa namamu?”

“Mita Om, Ermita.”

“Dimana kamu sekolah?” Dia menyebut sebuah SMU swasta sembari mengangkat mukanya melihat ke wajahku. Sekilas kami bertatapan, kulihat matanya begitu letih dan mukanya pucat.

“Kamu dari sekolah langsung kemari?”

“Iya Om.”

“Belum pulang ke rumah?”

“Belum Om.”

“Kemari dulu.” Aku cepat melangkah ke dapur memeriksa lemari es. Di sudut aku melihat kaleng coca cola terakhir. Aku sudah harus ke Carrefour lagi. Beberapa persediaan sudah tipis.

“Ini Ermita, coca cola!” Dia tersenyum gembira, “Makasih Om.” Segera saja dia tarik kaitan tutup kaleng aluminum itu dan mereguk isinya. Kentara soda dingin itu sangat dia nikmati. Barangkali di kamarmandi dia tadi minum air ledeng tapi belum dapat melepaskan rasa hausnya yang teramat sangat.

Aku memeriksa freezer dan mataku tertumbuk pada bungkus aluminium potongan kelebihan pesta pizza pesanan yang sudah sekitar tiga minggu di sana. Kubuka, ada dua potong, keduanya kuletakkan ke piring dan kumasukkan ke microwave. Tiga menit pizza yang sudah panas dan segar lagi kukeluarkan dengan mengalas tanganku ke piring dengan serbet kertas dan kusodorkan padanya. “Ini pizza makanan orang Italia, barangkali kamu sudah tahu. Roti dengan keju, pakai daging kambing, cendawan dan potongan-potongan … apa ya indonesianya green pepper?”

“Saya juga tidak tahu Om”, katanya menerima piring yang kusodorkan pada alas serbet kertas peganganku.

“Cabe yang sebesar tinju.”

“Ooo.” Dia letakkan kaleng cocacolanya di counter dapur dan diapun mulai hendak menggigit pizza itu, meniup-niupnya karena masih panas, kemudian menggigit lagi dan mengunyahnya. “Enak Om, biasanya cuman ngeliat di iklan televisi”, dan dia menghadapkan piring ke depanku supaya aku mengambil potongan yang satu lagi. “Tidak, makan saja, Om masih kenyang. Kamu belum makan dari pagi?”

“Belum Om, Mita memang lapar sekali.” Aku tahu. Bahkan sarapan sebelum berangkat sekolahpun barangkali dia belum. Keterlaluan si Andi. Pacar lapar kok disikat dulu.

“Om memang tidak mau?” Aku menggeleng, dan sepotong pizza lagi dia angkat ke mulutnya. Diam-diam aku suka padanya. Anak ini jujur, tidak berbasa-basi.

Kami masih berdiri di sana di dapur, aku memandang dia yang mengunyah pizza dan mereguk minuman kalengnya, sewaktu nasi dari rice cooker mengeluarkan aroma harum.
“Wah nasinya masak, kita bisa lanjutkan dengan makan siang, Ermita”.
“Tapi Andi tadi pergi beli nasi bungkus, Om.”
“Kalau nanti dia datang, nasi bungkusnya kan bisa kamu bawa pulang”, kataku sambil mengeluarkan piring bersih dari lemari dan meletakkannya di meja makan. Periuk rice cooker langsung kuangkat pakai sarung tangan dan kuletakkan di meja makan dengan alas piring lain. Lalu potongan rendang, potongan kari dada ayam dan goreng ikan yang kubeli kemarin di Jalan Sabang masuk ke microwave dan Ermita membantu meletakkannya di piring dan membawanya ke meja makan. Dia juga membantu menyediakan air dingin es dari kulkas dan sendok garpu. Untuk sayur dia membantu memotong-motong tomat dan kol mentah.

Kami makan tanpa banyak bicara. Kudorong ke depannya potongan rendang yang dia terima dengan senang hati dan juga seekor ikan goreng seukuran tapak tangan. Dan aku yang sebenarnya juga lapar makan dengan lahap dengan lauk kari ayam, entahlah mungkin karena ada gadis murid SMU cantik menemani makan. Tampaknya melihat aku makan lahap, Ermita juga makan lahap tak sungkan-sungkan. Saling mengangkat muka dari seberang meja mata kami bertemu. Wajah Ermita kini terlihat cerah dan segar, tidak lagi kuyu dan letih seperti tadi. Dan sekarang aku menilai dia benar-benar cantik, tidak hanya lumayan cantik. Bibirnya yang merah karena merica rendang tampak semakin sensual dan menggairahkan. Hidungnya bangir dan matanya cemerlang seperti bintang kejora.

“Kata Andi, Om dari Amerika?”

“Ya, dari New York. Om sekolah ngelanjutin kuliah di Boston lalu ada perusahaan multinasional yang nawarin kerja. Kerja tujuh tahun Om dikirim ke sini untuk tugas setahun membuka cabang baru.”

“Jadi Om bakalan kembali lagi ke sana?”

“Ya, sekitar enam bulan lagi.”

“Om punya keluarga di sana? Isteri?”

“Ndak. Kumpul kebo saja.” Tawa kami meledak, dia tersedak. Buru-buru dia minum air es.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Segera aku berdiri kembali ke dapur menjangkau ke rak bagian atas. Kuraih sebotol anggur Malaga yang sudah lama kubeli tapi terlupakan. Kucabut sumbatnya dengan bor pencabut sumbat botol dan aroma harumpun keluar dari mulut botolnya. Kuambil dua buah sloki dan kubawa ke meja makan.

“Apa itu Om?”

“Anggur, kamu minum anggur?”

“Ndak pernah. Bisa mabuk Om?”

“Ah, anggur tidak menyebabkan mabuk kalau hanya satu sloki.” Kutuangkan ke satu sloki dan kusodorkan kepadanya, “Ayo coba Ermita.” Dia menghirupnya sedikit. “Enak Om.” Dan dia menenggak sereguk. “Enak Om, tapi dada rasanya panas.” Aku juga mereguk dari slokiku. Hmm anggur manis Spanyol yang harum. Tak kusangka anggur ini demikian lezat. Anggur tua rupanya. Kureguk lagi, dan kulihat Ermita juga mereguk dari slokinya langsung sampai habis.

“Om kasi lagi anggurnya”, ini adalah sloki yang ke-empat. “Sudah ini jangan lagi Ermita, nanti kamu mabuk.”
“Rasanya sekarang Mita memang agak pusing Om, apa mabuk ya?”
“Kamu minum hampir empat sloki, kalau Om masih belum apa-apa. Tapi memang bisa mabuk bagi yang belum biasa minum. Sesudah ini kamu tidak boleh tambah lagi. Ayo kita duduk di sofa.”


“Om, Mita mau ke kamar kecil. Dan sesudahnya apa Mita boleh berbaring di kamar Om? Mita capek sekali Om.” Dia kelihatannya memang sudah setengah mabuk, jalan pikirannya mulai tidak terkontrol, mengatakan saja apa yang terasa. Kalau pikirannya terang tentu dia akan segan sekali bertanya mau tidur di kamar-ku.

“Nanti Andi marah-marah mendapati kamu tidur di kamarku, Ermita?”

“Ah peduli amat. Mita ndak suka sama dia. Mita suka sama Om.” katanya tersenyum genit, kegenitan yang sebelumnya tak pernah ada. Wah gawat nih anak. Padahal aku sama sekali tidak pernah bermaksud membuat dia mabuk. Tapi aku memang ingin mengorek pendapatnya mengenai aku.

“Suka sama Om? Kenapa?”
“Om baik.”
“Apa lagi?”
“Om ganteng”.
“Andi kan juga ganteng?”

“Om lebih ganteng dan lebih tinggi … dan macho.” Dia kembali tersenyum genit memandang ke wajah, lengan dan dadaku. Aku tertawa, “Macho, apa itu?”

“Macho seperti Antonio Banderas.”
Aku tertawa lagi, “Ayo pergilah”. Dia tertatih dan terhuyung sewaktu berdiri dari kursinya sehingga aku cepat bangkit dari kursiku mengejar dan menyambar lengannya dan menuntunnya ke kamar mandi di kamarku. Aku keluar setelah dia berada di depan bowl seat menunggu dia pipis dengan berdiri membelakang. Pintu kamar mandi kubiarkan setengah terbuka karena aku takut kalau-kalau dia jatuh karena pusing. Desiran pipisnya membuat “adik”-ku berdenyut, tapi aku sungguh tidak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku baru tahu dia selesai sewaktu dia merangkulku dari belakang.

“Om Mita capek mau berbaring.”

“Boleh, berbaringlah?” kutuntun dia ke tempat tidur dan kugolekkan dia di sana. Dia memejamkan mata, tampaknya benar-benar lelah dan ingin istirahat. Dan sekali lagi aku terpesona memandang wajahnya dari jarak begitu dekat. Bibirnya yang merekah indah seakan mengundang aku untuk mencicipinya. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya. Kucipok bibir indah itu mula-mula lembut tapi berikutnya dengan melumat dan memilin bibir yang seperti jeruk dua ulas itu dengan bibirku. Dia membuka mulutnya dan lidahku bertemu dengan ujung lidahnya yang membuat tubuhku seperti terkena aliran listrik lemah yang membuat penisku bergeletar, sehingga bibir dan mulut itu kembali kuremas penuh nafsu dengan mulut dan lidahku. Lalu sementara lengan kananku menyangga di bawah kepalanya tangan kiri meremas gundukan dada kanannya yang terasa empuk walau masih di bawah blus dan branya.

“Om, om punya pacar?”, tanyanya dengan nafas sesak sewaktu mulut kami terlepas.
“Tidak. Kamu mau jadi pacar Om?”, kucium matanya.
“Mau.”
“Apa yang dilakukan Andi di sofa? Dia cium kamu seperti ini?” Kukecup lagi bibirnya.
“Hmmh.”
“Dia ciumi dan jilat lehermu seperti ini?”
“Hmh”
“Dia remas juga dadamu?” Dan aku meremas lagi dadanya, sekarang yang sebelah kiri.

“Hmmh”, matanya terpejam kenikmatan.

“Dia masukkan tangannya kedalam blusmu dan dia pijit pentilmu di sini?” Mengatakan itu kumasukkan tanganku ke balik blus dan branya lalu kuremas tempurung dadanya, kupijit pentilnya mula-mula yang kanan kemudian yang kiri.

“Hmmh”. Dia meregangkan tubuh setiap kali kupencet puting susunya.

“Dan dia masukkan tangannya ke balik rokmu, mengelus bagian dalam pahamu, dan meremas bukit tempek-mu?” Sambil berkata demikian aku melakukannya dengan tanganku yang bebas dan melanjutkan menggerayang kesana kemari ke sekitar vaginanya sampai ke pusar lalu kembali lagi mengusap dan meremas bukit kemaluannya yang terasa tebal dan cembung di balik celdal, sambil kulumat lagi mulutnya. Dia tidak menjawab, matanya terpejam. Nafasku memburu.

“Dia masukkan jarinya ke sela celana dalammu dan mengorek kelentitmu?” Tiba-tiba dia menahan tanganku dengan tangannya dan melepaskan mulutnya dari mulutku yang melumat lagi.

“Jangan Om”, katanya lirih. Rupanya dia tersadar berada di pinggir jurang. “Om, Mita jangan diperkosa Om”, rintihnya memohon.

“Kamu kan mau ngasi tempek-mu ke Om?”

“Jangan Om, Mita takut nanti Mita hamil Om.” Rupanya walau separuh mabuk masih tersisa akal sehatnya.

Aku berhenti. Aku jadi kasihan padanya. Seharusnya aku tidak memanfaatkan keadaan dengan menyetubuhinya selagi pikirannya tidak cukup terang untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Dan kulihat dia jadi tenang karena nafasnya tidak sesak lagi. Barangkali dia tahu aku bukan orang jahat.

“Kamu pernah ngentot?” Kataku setelah beberapa lama. Dia diam, dan beberapa saat menunggu jawaban kulihat rupanya dia sudah tertidur. Barangkali memang karena sangat lelah dan juga lebih-lebih lagi karena ditambah pengaruh alkohol. Kubetulkan kembali pakaiannya yang acak-acakan, kutempatkan bantal di bawah kepalanya menggantikan lenganku dan tak lama kulihat Ermita benar-benar tertidur pulas. Kututupi tubuhnya dengan selimut tipis dan akupun bangkit dari ranjang melangkah ke luar kamar.

Aku masih memasukkan piring ke mesin cucipiring sewaktu telpon berdering.
“Om ini Andi”
“Ada apa Andi?”
“Om aku tabrakan. Ada anak pengasong yang tiba-tiba nyebrang dan tertabrak.”
“Bagaimana dia?” aku khawatir, keponakanku bisa dapat masalah besar. “Luka Om, sudah dibawa ke rumahsakit. Sekarang saya masih berurusan dengan polisi.”

“Kamu sendiri bagaimana?”
“Saya tidak apa-apa Om…. Om….”
“Ya?”
“Saya minta tolong ngantarin Ermita pulang, Om.”
“Iya dah, Andi. Aku akan ngantar dia pulang, kami juga sudah makan kok.”
“Terimakasih Om. Om apakah saya bisa bicara dengan dia?” Aku tak mau dia tahu Ermita lagi tidur pulas di kamarku.

“Dia lagi di WC. Biar Om yang ngasih tahu dia Andi, jawab saja pertanyaan polisi sebaik-baiknya. Sanggupi untuk mengganti rugi semua biaya pengobatan. Jangan khawatir Ermita. Om akan mengantar dia pulang.”

“Terimakasih Om.”

Sudah beberapa jam Ermita tidur dan sudah pukul sembilan malam ketika aku mendengar dia bangun dan aku masuk melihat. “Ermita kamu sudah siap pulang?”, dia kelihatan linglung kebingungan, barangkali heran kok dia ada di kamar yang asing. Dan matanya melihat ke beker di meja di samping tempat tidur.

“Andi dapat kecelakaan, dia menabrak anak orang.” Dia terperanjat dan mencecar aku dengan pertanyaan dan aku menjelaskan.

“Dan kamu sekarang siap pulang?”
“Iya Om. Tapi …. “
“Aku akan mengantarmu. Dimana rumahmu?” Dia menyebut alamatnya. Terhuyung-huyung dia bangun dan kembali masuk kamarmandi, kelihatannya masih pusing. Aku menyesal telah memberi dia minuman ber-alkohol.

Masih kebingungan dipungutnya tas sekolah yang tergeletak di depan sofa di ruang tamu lalu kutuntun dia ke garasi dari pintu dapur. Dia tertegun lagi di pintu jip SUV-ku sehingga harus aku pondong untuk mendudukkan di passenger seat.

“Om?” bisiknya di telingaku sewaktu aku membetulkan duduknya dan memasang seat belt untuknya. Aku menatapnya. Apa yang dia pikirkan? “Ada apa?”

“Om?”, terlihat ada kemelut yang sangat merisaukannya.
“Apa Ermita?”
“Om … tidak … mengambil keperawanan saya?”
Aku terkejut. “Tidak Ermita, Om tidak mengambil keperawananmu.” Dia menatap ke mataku beberapa saat, lalu kulihat dia tersenyum lega, “Terimakasih Om.” Kucium keningnya. Entah mengapa saat itu aku merasa gembira tadi tidak menurutkan nafsu syahwatku mencelakakan dia.

“Apa orang tuamu tidak marah kalau kamu terlambat pulang Ermita?” tanyaku setelah mobil meluncur di jalan.
“Ibu akan marah dan ngamuk-ngamuk.”
“Bapakmu?”
“Bapak sudah bercerai dengan ibu, Om.”
“Ibumu kerja apa?”
“Bantu nyuciin pakaian orang Om.”
“Sudah berapa lama?”
“Sudah lama ibu kerjaannya itu, waktu bapak masih ada dia juga sudah kerja mencuci.”
“Kamu punya saudara?”
“Ya Om, empat orang. SMP dan sekolah dasar.”
Setengah jam kemudian aku menghentikan mobil di mulut jalan sempit menuju ke rumahnya. Kuberi dia uang dua ratus ribu. “Kamu naik becak atau ojek saja, sudah malam.”
“Terimakasih Om.”
“Nanti kalau ibumu nanya katakan ada teman sekolahmu perempuan yang mengajakmu ke tempat kakaknya di Bogor.”

“Iya Om.”
Entah kenapa sejak itu aku rindu untuk bertemu lagi dengan dia. Aneh kok aku bisa tertarik pada gadis kampungan seperti Ermita yang makan pizza-pun tak pernah sebelumnya. Pakaiannya saja kelihatan lusuh baik blus maupun roknya walau tidak kumal, barangkali karena terus-terusan dipakai tiap hari. Tapi aku akui, dia punya kecantikan yang mempesona, kecantikan alami dan juga kepribadian yang membangkitkan rasa ingin tahu.
Dan entah sudah untuk ke berapa kalinya aku menunggu di depan sekolah yang dia sebut tapi aku tetap saja tidak melihat dia. Sampai tak ada lagi siswa yang keluar kemudian ku-start mobilku beralih ke mulut gang dimana aku mendropnya malam hari dua pekan yang lalu, tapi dia tak juga kelihatan.

Aku justru bertemu dengan dia secara tak disangka-sangka sebulan kemudian. Waktu itu kami berjalan di pusat perbelanjaan Blok M dengan Rena bergelayut di lenganku. “Om!!” kulihat dia melambai dari jarak enam meter. “Hei Ermita, kemana saja? Ndak pacaran lagi sama Andi?” tanyaku tersenyum lebar menggoda. Dia kelihatan bersama tiga temannya yang seperti dia masih berseragam sekolah. Rambutnya sudah dipotong, dikurangi jadi lebih pendek sampai bahu sehingga tampak lebih rapi. “Ndak Om, dia dapat yang baru,” jawabnya ketawa sambil melirik ke pacarku. Aku hendak bertanya dia sekolah sebenarnya dimana, karena tak pernah kulihat dia di sana, tapi Rena sudah menarikku pergi, sehingga aku harus melambai ke dia.

“Om, Mita kepingin dibikin mabuk lagi sama Om dan tidur lagi di kamar Om!” Kudengar dia mengatakan itu berteriak ditahan ketika kami sudah menjauh. Dan teman-temannya cekikikan. Kurang asin ini anak. Sudah terang dia mengatakan itu untuk membuat Rena panas dan memang perempuan itu segera melepaskan tangannya dari lenganku.

Ah gangguan anak nakal saja kok didengar”, kataku. Tapi mukanya masam dan sewot. Setiba di rumahnya kami bertengkar. Aku mencoba membela diri tanpa hasil.

Hari itu aku menunggu lagi dalam mobilku di depan sekolah itu. Gagal disana meluncur ke mulut gang dimana dia saya drop dua bulan yang lalu, mencari tempat berhenti dan merenung.

“Om Rob nunggu siapa?” Aku mengenal suaranya. Suara yang kurindukan. Kutengok ke samping. Dia.
“Ayo naik Ermita.”
“Naik kemana?”
“Ayo naik saja.”
“Nanti ada yang marah.”
“Siapa yang marah? Tidak ada yang marah.”
“Mita harus ngantar belanjaan ini dulu pulang.”
“Ya antarkan. Tapi segera kembali ya?”
Dia tidak menjawab. Kulihat dia menyeberangi jalan.

Seperempat jam kemudian, saat kukira dia tidak mendapatkan izin dari ibunya, kulihat Ermita datang. Mengenakan T Shirt dan jaket butut dan blujins. Kelihatannya pakaian bekas kiloan tapi pas membalut tubuhnya dengan garis lekuk-lengkung yang indah. Ermita adalah perempuan yang seksi sekali.

“Kemana kita Om?”
“Ke rumahku lagi, masak nasi di rice cooker, makan dengan rendang, kari ayam dan ikan goreng. Om baru membelinya di Jalan Sabang kemarin.”

“Ada pizza dan cocacola juga?”
“Ada banyak cocacola tapi pizza lagi tidak ada, tapi bisa kita singgah membelinya di PizzaHut kalau kamu mau.”
“Dan anggur manis Malaga yang bikin mabuk?”
“Ya masih ada, tapi tidak perlu harus mabuk. Minum satu sloki saja tidak akan mabuk.”
“Dan kalau sudah mabuk tidur di ranjang kamar tidur Om sampai pagi?”, lanjutnya tanpa mempedulikan jawabanku.

“Om akan mengantarmu pulang sebelum senja.”
“Sebelum senja besok?” Aku terdiam sejenak, walau sebenarnya nafsuku jadi menggelegak.
“Sebelum senja hari ini juga. Besok kamu sekolah kan? Om juga kerja besok.”
Tak seorangpun kami yang berbicara beberapa lama.
“Om berkelahi dengan pacar Om yang cantik itu?”
“Hmm iya, kok kamu begitu jahat ya?” Dia ketawa cekikikan. “Ndak sengaja Om. Tapi rasanya Mita betul-betul kesel banget waktu itu. Pacar Om itu kelihatan sombong sekali, melihat kita-kita ini kayak ngeliatin pe-es-ka murahan aja.”

“Ah tidak benar itu. Rena itu baik kok.”
Kami kembali diam. Lama.
“Om.”
“Ya?” Aku tetap memusatkan perhatian ke jalan yang penuh kendaraan lain.
“Berapa … berapa … om mau membayar kalau aku … kalau aku .. ngasi .. keperawananku?” Aku terdiam. Pertanyaan yang sama sekali tidak aku sangka-sangka.

“Berapa kamu minta, Ermita?”
“Berapa Om menilai harganya?”
Aku terdiam lagi beberapa saat. Ku ingat di New York tarifnya seratus dollar sekali main dibawa ke hotel. Itupun pelacur jalanan yang mangkal di traffic light dengan risiko ditangkap polisi dan terjangkit penyakit kotor kalau bukan AIDS. Lady Escort high class 500 dollar per-jam di luar tip dan dia akan mendesak klien-nya make kondom. Dan perawan cantik seperti bidadari disampingku ini?

“Sepuluh juta rupiah Ermita? Atau duapuluh?”
“Om sanggup membayar 20 juta rupiah untuk saya? Untuk satu kali saja?”
“Mengapa tidak? Tigapuluh juta aku juga sanggup bahkan lebih.” Aku tahu aku berkata jujur.
“Om, aku minta sepuluh juta saja, tapi Om belikan aku pil anti hamil.”
“Kamu sungguh-sungguh Ermita?”, aku menoleh sejenak melihat ke wajahnya*”
“Ya”, katanya pendek.
“Mengapa tidak 30 juta? Aku juga bisa membelikanmu pil anti-hamil.”
Dia menggeleng. “Rasanya seperti menjual diri betul.”
“Jadi dengan sepuluh juta bukan menjual diri?”
“Sepuluh juta aku minta karena keperluan untuk bayar tunggakan uang sekolah dan untuk pendaftaran ujian akhir. Kalau ndak, tidak bisa ikut ujian.”
“Jadi dengan sepuluh juta itu bukan menjual diri, Ermita?”
“Bukan. Om menilainya lebih tinggi kan? Dan aku menyerahkannya pada Om.”
“Menyerahkan demi uang.”
“Menyerahkan karena Mita sayang Om.”
Gombal, teriakku dalam hati.

Kami telah sampai. Segera kumasukkan mobil ke garasi. Dari garasi kami ke dapur. Kumasukkan beras ke periuk rice cooker, kupanaskan rendang beserta bungkus daun pisangnya ke microwave, lalu kari ayam, lalu ikan goreng. Ermita menunggu di meja makan. Aku menyiapkan semuanya. Cocacola kaleng, gelas dengan air es, dan kutuang anggur manis Malaga kedalam sloki cantik. Irisan tomat dan kol mentah. Setelah nasi masak kami makan dengan berdiam diri.

Dan makan itupun selesai. Ermita menghirup anggurnya. Aku juga. Lalu dia permisi ke kamarmandi. Kembali lagi ke meja makan dan kami berdiam diri lagi. Limabelas menit sudah berlalu, kelihatannya dia menunggu aku, tapi aku diam saja.

Akhirnýa aku masuk ke kamar mengeluarkan uang tiga juta dari kantong, jumlah maksimum yang bisa kuambil tadi saat singgah di mesin ATM selagi Ermita menunggu di mobil: Ditambah sekitar lima juta persediaan uang tunai cadanganku yang masih ada di lemari, kumasukkan uang itu ke balik kemejaku dengan lebih dulu membuka kancingnya. Delapan puluh lembar seratus ribu dan lima puluh ribuan.

“Oke Ermita, kuantar kamu pulang.”
“Kenapa?”
“Aku tidak punya uang tunai sepuluh juta sekarang. Saya biasa memakai credit card. Dan bank-nya tadi sudah tutup. Saya akan mengambil perawanmu setelah aku punya sepuluh juta.”

Kutarik dia dari kursi dan kubimbing ke garasi. Seperti sebelumnya kududukkan dia di mobil lalu kulumat mulutnya. Kami tidak berbicara apapun sampai aku menghentikan mobil di mulut gang menuju rumahnya. Sebelum dia turun kutanya: “Ermita, apakah tujuh setengah juta cukup untuk membayar uang sekolahmu yang belum dibayar?” Aku mengeluarkan uang itu dari balik kemeja dan memberikan kepadanya. Dia menatapku. “Cukup Om”, katanya. Dan dia turun.

Esoknya pulang dari kantor kulihat Ermita menunggu di depan gerbang rumahku dengan sebuah bungkusan. Memakai T- shirt dan blujins yang dia pakai kemarin. Kubuka pintu mobil dan dia naik, lalu mobil kuteruskan masuk ke garasi.

“Bungkusan apa, Ermita?”
“Nasi bungkus Om.”
“Nraktir ya?”
“Iya.”

“Ayo kita makan.” Dari garasi kami masuk ke dapur. Di dapur kuraih bungkusan nasi dari tangannya dan kuletakkan di counter dapur. Lalu kutarik tubuhnya dan kulumat mulutnya yang sensual itu. Diberikannya lidahnya yang segera kusambar dan kuhisap. Kutarik T-shirt-nya ke atas dan kujelajahi dengan mulutku lereng bukit diantara belahan dadanya sembari tanganku menanggalkan kaitan BH di punggungnya. Tak lama penutup payudara itu sudah kulempar ke lantai dapur. Tak babar kuhisap putingnya berganti-ganti kiri dan kanan, bahkan kugigit gemas. Kulihat wajahnya meringis mungkin terangsang atau mungkin oleh sebab lain, aku tak begitu peduli. Terus kuangkat tubuhnya dan melangkah hendak kupondong ke kamar tidur. “Om bawa pakaianku”, bisiknya dalam pondonganku. Kuturunkan dia kembali ke lantai untuk memungut T-Shirt dan bra-nya. Lalu kupondong dia lagi, kubawa ke kamar tidur dan kutegakkan dia di sana selagi aku mengunci pintu kamar. Lalu aku berjongkok menanggalkan sepatunya lalu menanggalkan kaitan dan menarik resleting blujins-nya sambil memandang keindahan buah dadanya yang seperti batok kelapa dan wajahnya yang merah padam.

Kuturunkan blujins itu ke bawah sekalian dengan celana dalamnya sehingga vaginanya yang indah terpampang sejenak di depan mataku sebelum dia menutup dengan kedua tangannya. Sekalipun demikian dia membantu aku meloloskan blujins dan celana dalam dari kakinya itu dengan mengangkat mula-mula yang kiri kemudian yang kanan. Ermita berdiri telanjang bulat dengan kedua tangan di selangkangan sewaktu aku buru-buru menanggalkan pula seluruh pakaianku. Mataku terus saja menikmati keindahan tubuhnya yang bagai patung perunggu Dewi Venus itu saat aku menelanjangi diri. Sepatu, dasi, jas, kemeja, singlet, lalu celana dan kolor kutarik sekali jalan. Semuanya kulempar saja di lantai.

Kulihat matanya melihat ke penisku yang mengacung tegak dua puluhan sentimeter dengan bonggol kepala yang sudah sering mendapat pujian para perempuan yang pernah kutiduri. Mukanya semakin merah padam. Kudekati dia, kupondong dan kukecup lagi lalu kubawa ke tempat tidur.

“Apa yang akan kita lakukan, Ermita?” bisikku tersengal di telinganya sambil membaringkan dia di ranjang. “Bersetubuh”, bisiknya gemetar.

“Kemana kita berdua akan berlayar, Ermita?” bisikku lagi.
“Ke langit yang ke-tujuh”, bisiknya hampir tak terdengar. Aku menyertai dia berbaring miring di ranjang. “Ya, kita akan mengharungi sorga dunia. Kamu pernah ke sana sebelumnya?”

“Belum, Om saja yang nunjukin jalan.”
“Jangan khawatir, akan Om tuntun kamu baik-baik.”
Lalu kususupkan lenganku di bawah tengkuknya. Kucium belahan dadanya dan naik ke leher. Baru keringatnya harum sekali. Dia merangkulkan tangannya ke leherku. Aku bisa mendengar degupan dadanya yang cepat sekali.
“Om”, desahnya. “Mita ingin merasakan Om.”

“Iya sayang, Om juga ingin sekali. Kamu cantik sekali Ermita. Bentuk tubuhmu bagus sekali. Sempurna.” Hirupan nafasku memang sudah panjang-pendek karena darah yang bergelora dan mengalir kencang. Langsung kuposisikan tubuhku di atas badannya dan merenggangkan pahanya dengan kedua lututku dan bermaksud menuntun batang kelelakianku untuk langsung ditancapkan ke liang nikmatnya.

Tetapi tiba-tiba aku sadar aku harus mengendalikan diri, tidak boleh terburu-buru. Aku sedang hendak merobek selaput dara seorang gadis perawan yang belum pernah dimasuki laki-laki. Dia bisa kesakitan sekali kalau aku tidak menyiapkannya lebih dulu. Dan kalau dia terus kesakitan aku juga bakalan sukar menikmati.

Dengan pikiran itu aku mulai mengalihkan perhatian pada gundukan dadanya yang kuserang dengan ciuman gemas diselingi remasan tangan. Lalu lehernya kembali kusosor dan kujilat, lalu hidung dan mulutku kembali ke celah diantara buah dadanya, kedua ketiak di bawah lengannya, lalu putingnya kugigit dan kuremas gundukan itu lagi dengan kedua tanganku. Tanpa memperhatikan reaksinya yang menggelinjang dan mendesis-desis setiap bagian tubuh atasnya yang peka kuserang, sebelah tanganku menyelip ke balik punggungnya, lalu ciuman dan jilatanku turun ke pusar. Dan tanganku turun dari punggung ke pinggangnya yang ramping, mengusap mesra lereng bukit panggulnya yang seksi saat aku menggeser tubuh ke bawah dan cumbuanku turun ke tumpukan jembut halus dan klitorisnya, mengecup dan menjilat dengan lidahku disana beberapa menit yang membuat dia semakin merintih-rintih. Lalu aku bergeser turun ke bawah beralih ke kakinya.

Kuciumi jari dan telapak kedua kakinya, kumasukkan jempol kakinya ke mulutku dan kuhisap. Lalu beralih ke betisnya, mencium dan menjilat juga di sana, lalu lipatan lutut berganti-ganti kiri dan kanan, naik ke paha dan pangkal paha yang setengah mengangkang diantara kepalaku. Sebelah tanganku kembali masuk aktif membelai dan meremas lekuk pinggang dan panggulnya. Lalu kucium mesra gundukan hutan apemnya yang berdaging tebal. Lalu beralih ke celah memiawnya kukuhum labia mayoranya, lalu kelentit dan labia minoranya. Kurasakan dia mengangkat-angkat panggulnya dan tangannya menjambak rambutku. Kujilat terus sampai air kewanitaannya tergenang membanjir mendekati orgasme.

Cukup sudah. Saya kira dia sudah siap untuk kumasuki tanpa merasa terlalu sakit. Akupun merayap naik di atas badannya. Kembali kukuakkan kedua pahanya dengan kedua lututku, dan dia menekukkan lututnya ke atas dan membuka kangkangannya lebih lebar memberi tempat pada panggulku. Kuambil posisi yang pas dan dengan sebelah tangan kutuntun penisku ke mulut liang vaginanya yang sudah tergenang dan kucecahkan di sana. Kurasakan reaksi tubuh Ermita yang meregang saat bonggol penisku yang lezat bagi perempuan menyelinap ke mulut liang nikmatnya. Dan dalam landaan gejolak birahi remajanya yang minta ditudtaskan seperti juga aku yang sudah dikuasai syahwat, Ermita dengan nafas tersengal-sengal merintih, dia tahu sebentar lagi kegadisannya akan kuambil. Kedua tangannya dipanggulku. “Pelan-pelan, Om”, isaknya lirih.

“Pelan-pelan apa sayang?” tanyaku tersengal, pura-pura bertanya.
“Pelan-pelan ngambil perawanku”,°
“Kalau pelan-pelan ndak enak, Ermita. Om mau mendobrak kegadisanmu, merobek selaput daramu dan melumatnya sampai tak bersisa lagi.”
“Mita takut sakit banget Om,” mulutnya mengatakan itu tetapi tarikan nafasnya dalam sekali menahan hasrat birahi yang minta segera dipenuhi. “Nanti Mita di sekolah diketawain jalan ngangkang.” Aku tak tahan menahan tawa, dan Ermita juga tertawa. Birahi kami agak mongendor karenanya. Lalu aku kembali melumat mulutnya, lalu gumpalan dada dan putingnya, Dan penisku kembali kubenam mesra di celah labia di mulut senggama-nya. Aku sudah tidak tahan lagi. Kudorong lebih dalam dan kurasakan ujung kepala penisku menyentuh hymen-nya, itulah santapan lezat bagi kepala butuhku.. “Sekarang ya Ermita?”

“Hmmh”, dia tersengal.
“Om dobrak ya?”
“Hmmh”, dia tersengal lagi mengusapkan jepitan pahanya ke panggulku.
“Om pecahkan selaput daramu ya sayang? Om ambil kegadisanmu ya?”

“Mmmh, ambillah Om, Mita serahkan buat Om”, dia sudah menyerahkan perawannya untuk diambil olehku dengan cara apa saja yang aku maui. Kulumat mulutnya, kuremas dadanya dengan sebelah tanganku. Kuperkuat posisi lututku di kasur dan bagaikan Ronaldinho yang mendapat umpan manis dalam kejuaraan Piala Dunia, dengan satu gerakan indah akupun mendobrak masuk ke gawang Ermita. Kurasakan selaput daranya robek diterjang kepala penisku. Dia menjerit lirih, cepat kusumpal mulutnya dengan mulutku dan kubenamkan penisku lebih dalam. Kulihat airmatanya keluar. Duhhh nikmatnya. Betul-betul nikmat, baru sekali ini aku menikmati gadis perawan. Kurasakan dia menjepit keras batang kejantananku. Kucium keningnya. “Sakit sayang?”

“Perih”, bisiknya di telingaku. Aku tak bisa menunggu lama, birahiku yang menggelegak minta dituntaskan.
“Om lanjutkan ya sayang?” Dia tidak menjawab. Kutikamkan lagi tombak tumpulku sehingga terpuruk sampai ke pangkal. Kulihat matanya basah dan keringat keluar di bawah anak rambut, di alis dan ujung hidungnya.
Tapi aku sudah tidak sabar. Segera saja dia kugenjot. Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa perih kuganggu dia.

“Kamu masih perawan sekarang Ermita?”, kugenjot dia dua kali lagi.
“Ya tidak lagi dong”, dia mendesis dan mencubit lenganku. Sesudah sepuluh genjotan lagi keluar masuk memiawnya tampaknya dia sudah tidak merasa perih lagi dan nafsunya bangkit lagi. “Siapa yang ngambil perawanmu?” kataku sementara terus kugenjot lagi.

“Om Robby.”
“Om Robby siapa? Pacarmu?” kugenjot dia terus dan dia mulai menanggapi dengan menggoyang panggulnya. Tampaknya perihnya sudah hilang digantikan oleh birahi naluri hewannya.
“Maunya iya, tapi ndak bakalan dapat.” Dan kini dia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mulut kami saling melumat lagi. Goyangan panggulnya juga semakin liar menyambut genjotanku. Aku tahu ini goyangan alami yang spontan, reaksi seorang perempuan berdarah panas, bernafsu besar. Kulumat lagi mulutnya. Nafsuku makin bergejolak. Dan seperti kesetanan kutusuk lagi dia lebih dalam sampai seluruh batangku tenggelam lagi dan kepala penisku menyentuh dasar rahimnya. Lalu kukocok dia habis-habisan. Entah berapa lama aku memompa dahsyat saat dia melolong ketika kupurukkan lagi batang kejantananku sedalam-dalamnya untuk menyemprotkan bongkahan-bongkahan spermaku ke celah paling jauh bilik rahasia peranakannya. Aku meregang tubuh dan berteriak dan dia juga berkelojotan, otot-otot vaginanya mencengkeram dan bagai memerah sperma batang kelelakianku sampai kering sembari tangannya menarik kepalaku lalu mulutnya lengket menghisap mulut dan lidahku. Rupanya dia juga orgasme dengan hebat, walau pada saat-saat terakhir tadi aku tak peduli dia lagi. Aku hanya memikirkan kenikmatan bagi diriku, hendak mereguk dia sepuas-puasnya, karena bukankah ini adalah jual-beli? Aku hendak menikmati yang dapat dibeli uangku dengan sebaik-baiknya. Tapi ternyata diapun sangat menikmati keseluruhan permainan itu. Karena dia juga terang sangat menikmati saat perawannya kurobek walau perih. Aku tahu betul itu.

Aku masih menggerak-gerakkan penisku beberapa saat dalam lobang vaginanya dan masih terus menghimpitnya beberapa lama. Dan setelah semuanya reda baru aku turun dari tubuhnya. Segera aku turun dari pembaringan pergi ke kamar mandi. Kuperiksa penisku yang masih panjang setengah tegang. Kulihat serabut-serabut jaringan merah darah lengket di rambut kemaluanku, dan juga batang penisku berlumar campuran sperma dan lendir warna merah jambu. Setelah kubersihkan aku ke luar kamar mandi masih bertelanjang. Kulihat dia sudah duduk di pembaringan. Di bekas tempat dia berbaring di bagian panggulnya juga kulihat cairan merah jambu bercampur serabut merah seperti yang kulihat di penisku.

Aku tak berbicara apapun kepadanya. Entah mengapa setelah berhasil mendapatkan kegadisannya aku jadi sinis dan jijik. Perempuan ini pelacur yang menjual keperawanannya. Entah kepada siapa lagi dia jual dirinya sesudah ini. Aku membungkuk mengambil dan memeriksa kantong jas-ku. Di sana sudah kusiapkan pil anti hamil yang kubeli di rumah obat sewaktu jam makan siang tadi dan uang tunai yang kutarik dari bank-ku tiga juta. Masih bertelanjang kuberikan uang itu padanya. “Ini uang kekurangannya Ermita. Dan ini pil anti-hamil. Tetapi sesudah ini tolong, tidak ada lagi hubungan antara kita. Aku tak mau lagi melihatmu berdiri di depan pintu halaman rumahku. Dan jangan lagi pernah menegur aku kalau kita berpapasan.”

Kulihat dia termangu. Barangkali tak pernah dia menyangka aku akan sampai hati mengatakan itu. Tapi aku tak peduli. Aku memang ingin hubungan antara aku dan dia berakhir sampai disini saja. Aku harus melindungi nama dan martabatku di depan umum.

Dikenakannya kembali semua pakaiannya. Diambilnya pil anti hamil, melangkah ke pintu membuka kunci dan keluar meninggalkan kamar. “Kok kamu tidak bawa uang ini?”, teriakku. Tidak menjawab dia terus melangkah berjalan ke pintu samping ke garasi lalu keluar ke gerbang terus ke jalan dengan rambut awut-awutan persis pelacur murahan yang baru saja digarap habis-habisan.

Sudah tiga bulan berlalu, ketika aku menerima kabar itu dari Andi lewat telpon.
“Om, Om masih ingat Ermita yang Om tolong antar pulang beberapa bulan yang lalu?”
“Iya kenapa Andi”, tanyaku berdebar.
“Dia dikeluarkan dari sekolahnya Om, karena hamil. Untung deh bukan aku yang ngerjain Om.”
Aku bergidik, kurasakan keringat dingin memercik. “Sejak kapan itu Andi?” aku berusaha keras agar tidak ada perubahan pada nada suaraku.


“Kurang jelas, tapi saya dapat kabar hari ini dari temannya. Anaknya memang aneh Om. Penampilan di luar kayak malu-malu dan alim, tetapi rupanya makan dalam.”

Intuisiku mengatakan aku akan mendapat masalah besar. Apakah Andi curiga dan menduga-duga? Mengapa dia menelpon aku memberitahu ini?

Dan benar saja. Masih jauh mobilku dari gerbang, aku sudah melihat dia berdiri di sana. Kuhentikan mobilku, membuka pintu untuknya, dan kuteruskan mobilku masuk ke garasi.
Kumatikan mesin mobil dan aku memandang kesamping melhatnya lebih teliti. Matanya sembab karena menangis.
“Om… saya hamil”, dan tangisnya tumpah meledak. “Saya diberhentikan dari sekolah, Om… Om tolonglah saya.” Dia menoleh padaku menghiba. “Saya ndak tahu apa yang mesti dilakukan Om.” Dia tersedu-sedan. Wajahnya penuh airmata.
“Kenapa jadi begini, Ermita? Apakah tidak kamu gunakan pil itu?”

“Pil itu tidak mempan Om. Mens saya terus saja tidak datang lagi sejak itu,” dia terisak-isak..
“Bagaimana sekolah bisa tahu sedang perutmu belum kelihatan sama sekali, aku melihat ke perutnya yang tampak masih saja ramping.

“Itu kesalahan Mita, Om. Mita curhat sama teman bilang takut mens Mita tidak datang, tapi dia rupanya mengatakan sama semua orang sampai guru dan kepala sekolah memanggil Mita dan dibawa paksa ke dokter kandungan.”

“Apa kata dokter itu?”
“Mita katanya positif hamil Om.”

none; vertical-align: baseline;"> Aku tercenung. Apa yang harus kulakukan? Aku tak berani membawa dia ke dokter pengguguran kandungan. Koran-koran sedang ribut memberitakan dokter aborsi gelap yang ditahan polisi karena pasiennya meninggal. Perhatian umum lagi kesana. Aku bisa masuk penjara kalau terjadi apa-apa pada Ermita. Atau kubawa dia ke Singapura?

“Apa maunya kamu, Ermita?”, tanyaku setelah diam beberapa lama.
“Digugurkan supaya saya bisa sekolah lagi dan ujian dua bulan lagi”, dia tersengguk lagi.

“Tapi kamu kan sudah diberhentikan?”, tangisnya makin keras. Berhenti dari sekolah tampaknya pukulan sangat berat baginya. Tampaknya dia ingin sekali dapat menyelesaikan SMU-nya dengan ijazah. Aku kembali berpikir keras.

“Kamu menyebut namaku kepada temanmu atau kepada kepala sekolah atau orang lain?”
“Tidak Om, saya tidak menyebut mengenai Om pada siapapun, walau ditanya. Saya tahu semuanya salah saya. Biarlah mereka mengejek saya perek”.
“Kamu sudah bayar uang sekolah lunas?”
“Sudah Om.”
“Dan bayar uang ujian?”
“Juga sudah Om.”

“Om akan minta tolong bapaknya Andi untuk menggertak kepala sekolah itu supaya kamu dibolehkan ikut ujian. Dia saudara kandung Om, seorang kolonel yang disegani preman Pasar Senen. Biar kepala sekolah kurangajar itu ketakutan.” Aku mengkertakkan gigi, geram.

Tangis Ermita belum berhenti. Dia menoleh ke arahku.
“Dan bagaimana dengan perutku ini, Om?” Dia meletakkan telapak tangan di perutnya.
“Apakah kita harus membunuh dia?” Ermita terperanjat mendengar ucapanku. Dia menatap tajam. “Dia belum manusia!”, protesnya, “dia masih sperma orang kaya yang mau iseng!!”

“Tiga bulan dia sudah manusia, Ermita. Sudah ada kepalanya, sudah ada tangan, kaki dan jari-jarinya meskipun masih kurus. Dan menggugurkan kandungan juga berbahaya. Kamu bisa mati. Dan kalau kamu mati saya masuk penjara.”

“Jadi bagaimana?? Apa saya harus mengandung anak tanpa bapak ini sembilan bulan lalu dicemplungkan di kali?” Aku tak dapat menahan tawa dan dia juga jadi ikut tertawa dalam tangis.

“Kenapa tanpa bapak? Apa kamu memberikan dirimu pada orang lain?” Dia kembali menoleh padaku tajam. “Rupanya Om memang mengira aku ini lonte!” katanya setengah berteriak.

“Jadi bapak janin dalam perutmu itu kamu tahu aku kan?”
Dia jadi tenang, mengangguk.
“Ibumu tahu kemana kamu pergi?”
“Tidak, aku lari dari rumah.”
“Aku akan menyuruh orang memberitahu ibumu bahwa engkau tidak apa-apa supaya dia tidak melaporkan kamu hilang ke polisi.”
“Mengapa tidak mendatangi sendiri?” Aku diam.
“Dan aku?”
“Kamu tinggal dengan aku disini sampai anakmu lahir. Apa kamu tidak suka tinggal bersamaku di rumah ini?”
“Sebagai gundik?”

“Sebagai apa saja menurut anggapanmu”, kataku ketus. “Tetapi apa yang aku punya kamu boleh memiliki dan menggunakannya. Apa yang aku makan, kamu juga ikut makan. Kamar tidurku adalah kamar tidurmu juga, tempat tidurku adalah tempat tidurmu juga”, kataku dengan nada membujuk.

“Gundik”, katanya tertawa sinis. Aku tak menanggapi. Aku tak mau terperosok kedalam kerangkeng yang sama sekali tidak aku kehendaki. Aku hanya sedang mengendalikan situasi dengan kepala dingin kalau tidak ingin menghadapi masalah lebih sulit lagi. Dia bisa dihasut orang untuk mencari pengacara menggugat aku. Atau ini bisa menjadi berita suratkabar, bukan tidak mungkin aku diberhentikan perusahaan karenanya.
“Terserah kamu mau menyebut apa saja. Tapi aku tak akan memaksa kamu melakukan sesuatu kalau kamu tidak mau.”
Dia diam sebentar.
“Sampai kapan?”
“Sampai anakmu lahir. Aku akan minta penugasanku di sini diperpanjang enam bulan.”
“Anakku?”
“Anakmu dan anakku.”
“Sesudah itu bagaimana?”
“Kita serahkan dia untuk diasuh ibumu. Aku akan memberi dana seratus juta untuk kesediaannya. Dan kamu bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku akan memberi uang masuk.”
“Saya mau digugurkan saja”, katanya.
Aku mengkertakkan gerahamku menahan marah.
“Kamu mau apa tidak?!”, teriakku. Dia diam, lama, tapi tak menangis lagi.
“Oke, aku jadi gundik.” katanya akhirnya.
Dan jadilah Ermita tinggal bersamaku.
Aku menyetubuhinya setiap malam. Bukan hanya setiap malam, setiap pagi juga, dan saban pulang kerja saat masih siang hari. Dan bersetubuh dengan Ermita nikmat sekali, karena dia juga sangat menyukainya. Nafsu birahinya meledak-ledak. Seimbang dengan gelora syahwatku yang seperti badei dan meletup-letup setiap menggumulinya, memompanya selagi dia bergelayut di leherku. Tidak hanya di ranjang, tetapi juga di meja makan, di sofa, di counter dapur, di kamarmandi, di lantai beralas selimut atau di kursi. Dan aku mengajarinya bahasa Inggris, aljabar, IPA, civic dan lain-lainnya dari buku pelajaran sekolahnya, mempersiapkan dia ujian akhir.

“Gimana punya guru aku, Ermita?”
“Sip. Guru pinter, lulusan MIT, ngerti apa saja, dan habis ngajar bisa dijilat dan dikulum seperti es krim, dan ditunggangi seperti kuda. Kalau guru sekolah mana bisa”. Dia cekikikan dan aku memencet hidungnya.

Dan bersetubuh dengan dia dari hari ke hari semakin lezat. Dia semakin pintar mengetahui cara membawa aku ke puncak kenikmatan sejalan dengan keinginan dan keperluan birahinya yang terutama dia tunjukkan kalau menempati posisi di atas. Goyangan panggul dan sedotan liang nikmatnya benar-benar membuat aku ketagihan dan semakin jatuh cinta padanya.
Tetapi kesedihan itu datang. Ermita keguguran. Restroom bowl penuh darah.
Kularikan dia ke dokter kandungan terdekat. Mukanya pucat-pasi. Tapi aku lega dia selamat.
“Om, sekarang aku sudah bisa dicampakkan lagi”, katanya melingkarkan tangan di leherku saat aku mengangkat dan menggendongnya dari mobil masuk ke rumah.

Campakkan? Aku semakin terperosok jatuh cinta padanya. Apalagi yang kucari dalam hidup ini? Aku sekarang sudah mengenal Ermita, bukan saja semua bagian tubuhnya yang nikmat, tetapi juga pribadinya yang polos dan jujur. Dia juga cerdas, hanya kemiskinan sajalah yang akan menyebabkan dia tak bisa berkembang. Tapi berilah dia kesempatan mengenyam pendidikan. Dan aku tahu dia jatuh cinta banget padaku, suka sekali pada genjotanku dan ingin menjadi isteriku. Dan aku yakin dia akan menjadi isteri setia. Kami menikah dengan upacara sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang termasuk ibu dan adik-adiknya. Dan Ermita ikut ujian akhir SMU dan lulus dengan nilai baik sekali.

Lima tahun kemudian seorang perempuan Indonesia yang audzubile cantiknya keluar dari kantornya, melangkah di trotoar jalan Broadway Avenue di jantung kota New York. Mengenakan blus sutra warna gading tanpa lengan dan rok span hitam setengah paha yang menunjukkan busungan dada, lekukan pinggang dan panggul sempurna yang bergoyang indah, sunglasses, tas tangan menggantung di samping kiri dan blazer disandang di bahu, dia kelihatan luar biasa cantik dan seksi sekali. Dia sedang menuju ke bangunan parkir bertingkat, kelihatannya hendak mengambil mobilnya.
“Hai nyonya”, tegurku. Dia menghentikan langkah, menoleh.
“Ihh kukira pengemis Jakarta minta recehan,” katanya.
“Bukan playboy bernama Om Robby?”, kataku tertawa.
“Iya playboy yang jadi bapak kedua anakku”, katanya.

TAMAT
Read More

Cemburu



Kantor yang semula berisik oleh saling ledek dan gurauan karyawan yang baru masuk kerja pagi itu mendadak sepi ketika Boss bertubuh tinggi tegap itu masuk. Seperti biasa dia tidak mengucapkan apa-apa terus saja berjalan ke ruang kantornya melewati Ratih.

Boss ini memang berbeda dengan boss-boss sebelumnya yang pernah dikirim kantor pusat untuk memimpin kantor cabang bank papan atas itu. Dari riwayat hidupnya Ratih tahu dia perwira militer yang dikaryakan. Orangnya pendiam dan dingin. Jarang bicara dan hampir tak pernah senyum. Bahkan terkesan angker sehingga karyawan segan, mulai pesuruh sampai kepala bagian. Dan dia berdisiplin. Datang tepat waktu dan pulang tepat waktu. Kerja ya kerja, tidak bermain-main, tidak bersenda gurau.
Tidak ada teguran atau peraturan tertulis mengenai hal itu, tetapi karyawan meneladani perilaku Boss. 

Seperti di bawah kepala sebelumnya, di bawah Boss yang baru enam bulan menempati pos-nya ini Ratih juga meneruskan posisi sebagai sekretaris. Posisi yang sebenarnya tidak begitu disukai Ratih karena citra buruk sosok sekretaris dimana-mana. Padahal kedudukan itu, sebagai sekretaris Boss-besar sebenarnya adalah posisi strategis di setiap kantor, pos dimana semua rahasia dan masalah kantor lewat di sana. Dari yang murni dinas seperti sampai yang menyangkut pribadi.

Telponnya berdering, ternyata Boss yang menelpon dari dalam.
"Ratih?", di telponpun suara itu terdengar berat dan berwibawa. "Tolong dicari di komputer peta penunjuk jalan ke villa real estate perusahaan PT Indra Bhakti yang di-foreclose".
"Baik Pak."
PT Indra Bhakti menghadapi masalah kekacauan finansial dan jatuh pailit, sehingga semua asetnya yang dijadikan agunan hutang jatuh ke tangan Bank tampat Ratih bekerja. Tidak lama Ratih mendapatkan peta penunjuk jalan itu di Internet dan mengirimnya ke mesin printer. Menunggu di mesin printer Ratih ingat lagi ucapan suaminya Armando Mengenai Pak Broto Boss-nya ini. Tuduhan keterlaluan. Suaminya tak tahu kenyataan baywa tak sedikitpun terlihat ada perhatian Pak Broto boss-nya padanya. Hubungan mereka murni hubungan kerja. Tak sedikitpun Pak Broto kelihatan berminat pada kecantikannya, pada dadanya yang busung dan pinggangnya yang ramping sehingga menonjolkan panggulnya yang bulat gempal berisi. Dan juga sama sekali tak terlihat minatnya pada karyawan cantik lainnya yang lebih muda dari Ratih. Berlainan sekali dengan dua kepala bagian yang digosipkan ada "affair" dengan sekretaris mereka masing-masing.

Beberapa menit kemudian Ratih sudah menyerahkan peta penuntun arah itu ke meja Pak Broto.
Pak Broto melihat ke peta dari mesin printer itu.
"Saya mau melihat sendiri villa ini, apakah tanahnya begitu luas sehingga harga agunannya sampai sampai sepuluh milyar? Siapa yang mengurus ini dulunya?" Ratih tidak menjawab, karena dia tahu pertanyaan itu tidak ditujukan kepadanya. Seisi kantor tahu ada permainan di sana oleh boss sebelumnya dan beberapa orang.
"Kamu berasal dari sekitar sini Ratih?"
"Iya Pak."
"Kata orang, desa asal orangtuamu di sekitar sini?"
"Agak jauh, Pak"
"Kamu bisa tahu berapa kira-kira harga tanah paling tinggi di daerah ini? Apakah 10 milyar dengan bangunannya menurutmu pantas?"
"Itu tergantung tempatnya, Pak. Kalau melihat titik lokasinya ini kayaknya tempat yang memiliki panorama indah di lereng gunung."
"Aku mau melihat sendiri tempat itu siang ini. Kamu mau ikut Ratih?" Ratih tahu itu bukan ajakan, itu perintah.
"Baik Pak."

Ternyata Pak Broto mau mengendara sendiri. Dia tidak membawa sopir. Dia berikan peta dari mesin printer itu ke Ratih yang duduk di sampingnya. Dan Ratih meletakkan tas tangan di pangkuan untuk menutup paha putihnya yang tersingkap karena tepi rok spannya bergeser ke atas saat duduk.

Mereka lebih banyak diam. Pak Broto dengan wajah suram memusatkan perhatian ke jalan, dan Ratih menunjukkan arah dimana mereka harus berbelok.
Diam-diam Ratih melirik laki-laki itu yang seperti tenggelam dalam lamunan selagi menyetir. Apakah dia bisa tersenyum? Selama enam bulan tidak pernah sekalipun dia melihat laki-laki yang tampang dan bentuk tubuhnya mirip pemimpin Irak Saddam Hussein ini tersenyum. Tetapi dia tahu Pak Broto tidaklah demikian angker kalau di tengah keluarganya. Dia lembut dan penuh rasa sayang kalau dengan anak-anaknya. Sangat kebapakan. Pernah anak-anaknya dibawa ke kantor, mereka dikenalkan dengan karyawan yang tidak terlalu sibuk satu persatu. "Ini Tante Ratih, salam dia. Perkenalkan nama kelian", katanya pada anak usia sembilan dan tujuh tahun itu sambil mengusap rambut mereka penuh kasih. Dan dia juga sabar dengan isterinya yang sering terdengar uring-uringan di telpon. Nada suaranya terus bernada membujuk, walau sesudah pembicaraan di telpon wajahnya sering bertambah muram.

"Kita belok dimana, Ratih?" Ratih tersentak dari lamunannya.
"Ohh ... di perempatan sesudah ini Pak, di lampu merah, belok ke kiri."

Dan mereka memasuki halaman real estate itu.
Wow alangkah indah bangunannya, terletak strategis di satu dataran di lereng bukit dengan latar gunung berapi dan hutan lebat yang menghijau. Ratih turun dan merasakan belaian angin gunung yang sejuk dan harum daun cemara. Halamannya penuh semak hias yang dipangkas rapi, pinus ramping dan bunga dahlia, gerbera, aster dan chryssant aneka warna yang merekah indah.

Ratih terpesona. Dia lihat Pak Broto juga takjub.
"Indah sekali", katanya seperti pada diri sendiri sambil memandang berkeliling.

Ratih mengeluarkan renjengan kunci dari tasnya dan mencari yang cocok dengan pintu depan lalu membukanya.

Villa itu sudah dikosongkan. Tidak ada perabot. Hanya beberapa peralatan masak di dapur dan di satu kamar mereka melihat ada kasur busa tak beralas di lantai, mungkin bekas tempat tidur orang yang ditugasi membersihkan rumah itu dan halamannya selama beberapa hari.

Ratih sebenarnya hendak menggunakan kamarmandi mau buang air kecil, tetapi ternyata air sudah tidak mengalir lagi. Mereka membuka pintu belakang dan kembali terkesiap oleh pemandangan yang luarbiasa cantiknya.

Dari bukit sekitar sepuluh meter dari pintu belakang air mengalir deras dari ketinggian membentuk kolam alami berair jernih bening dikitari batu-batu besar di satu sisi dimana limpahan air kolam telaga berpasir halus di dua tumpakan itu mengalir turun ke bawah tebing. Ikan-ikan kecil yang terlihat bermain gembira menunjukkan airnya sehat dan enak untuk diminum. Ratih mencari kemana air telaga itu mengalir turun di balik bebatuan.
"Pak saya kebelet pipis, mau buang air."
"Ya pipis saja, Ratih. Tak ada orang," laki-laki usia 50-an itu menjawab tanpa ekspresi, seakan yang mau pipis adalah anak umur lima tahun.
Dia melihat ke Pak Broto tetapi lelaki itu seperti tak acuh. Matanya terus saja mengamati, memeriksa setiap sudut.
Ratih berjalan melihat ke balik batu, ke arah air kolam itu mengalir turun dari tebing tetapi disana curam.
"Nanti kau jatuh disana Ratih", Pak Broto mengingatkan. Ratih tertegun, memang dia takut ke sana, tetapi tidak ada tempat lain dimana dia bisa jongkok tanpa terlihat oleh Pak Broto. Mata mereka bertemu, dan Pak Broto melihat wajah cantik itu merengut.

Ratih dongkol sekali. Si Boss ini seperti acuh saja. Sama sekali tak ada tanda dia berniat masuk kembali ke dalam rumah. "Oke kalau kamu menganggap saya anak umur lima tahun, saya juga bisa nganggap kamu anak umur lima tahun", teriaknya jengkel dalam hati sembari meloloskan celana dalam dari balik rok span mininya lalu melepasnya dari kedua kaki. Ratih lalu jongkok buang air kecil di pinggir kolam berpasir dimana air mengalir turun ke tebing, seakan Pak Broto yang menonton memang hanya bocah lima tahun yang ndak ngerti apa-apa.

Ratih belum sempat mengenakan kembali celana dalamnya sewaktu dia mendengar pertanyaan itu.
"Berapa kali kamu disetubuhi suamimu setiap minggu Ratih?"
"Setiap malam", kata Ratih acuh tak acuh. Padahal sudah dua minggu dia tidak tidur dengan suaminya karena cekcok terus.

Boss-nya itu, yang sekarang dia tahu ternyata buaya juga yang hanya berlagak jinak, diam. Dan sewaktu menengok, Ratih tercengang karena lelaki itu sedang menanggalkan jas, dasi dan kemejanya.
"Aku gerah sekali, kepingin berenang menikmati air segar kolam ini Ratih", katanya. "Bening sekali airnya." Lalu dia melepas sepatu, kaus kaki, celana, kaus oblong dan Ratih hampir-hampir tak percaya. Boss-nya itu, yang selama ini dia hormati dan sangat disegani orang sekantor, meloloskan juga celana dalamnya, melepaskan penisnya yang tegak mengacung dari kungkungan celana dalamnya itu. Dan matanya terbelalak melihat batang ****** yang besar itu. Sekitar satu setengah ukuran ****** suaminya.

Tanpa melihat ke Ratih Pak Broto masuk ke kolam, membenamkan kepalanya dan menyelam ke dasar kolam. "Duhh segar sekali airnya Ratih", teriaknya ketika muncul ke permukaan di depan Ratih yang duduk mencangkung. "Ayo mari sama-sama mandi. Ayo." Ratih tidak menjawab, dia diam saja merengut dan membuang pandangan ke lereng bukit.
"Ayo Ratih!", Pak Broto berenang mendekat. "Ayo" . Dia berenang lagi menjauh. "Ayo Ratih". Ratih masih tetap diam membuang pandangan. Dia berenang mendekat lagi. "Ratih!", panggilnya dengan nada membujuk. Matanya menembus celah kangkangan Ratih yang masih meremas celana dalam di tangannya, jongkok di pinggir kolam. Mengintai memek Ratih yang tembem berbulu halus tapi lebat.
"Ayo Tih, tanggalkan pakaianmu. Tak ada yang melihat, hanya kita berdua saja."
"Ayo Tih, Ratih." Nafas Ratih sesak. Sebenarnya sudah lama sejak Pak Broto menjadi boss-nya dia mengagumi kekekaran dan kekokohan tubuh laki-laki itu yang seperti Pak Saddam Hussein diktator Irak itu. Sudah lama dia mencoba mengira-ngira berapa kira-kira panjang penisnya dan sekarang dia sudah melihat penis itu. Wauwww benar-benar membuat nafasnya sesak. Dan laki-laki jantan itu sekarang berenang telanjang bulat di depannya. Tetapi saat itu ucapan suaminya yang menyakitkan karena cemburu buta itu terdengar lagi dan juga jawaban kemarahan dari dirinya dalam menangkis. Dia malu pada diri sendiri. Pada kemunafikannya. "Ayo Ratih, tanggalkan pakaianmu. Perlihatkan bentuk tubuhmu yang sexy itu. Selama ini aku hanya membayangkan saja dalam khayalan. Aku mau melihat yang sebenarnya Ratih." Ratih menggeleng.
"Ini akan menjadi rahasia kita berdua saja Ratih, tak seorangpun yang akan tahu."
Sekarang Ratih mengalihkan pandang matanya dari lereng tebing ke mata Pak Broto.
"Please Ratih," Pak Broto penuh harap. Dia melihat harapan di mata Ratih yang menatap matanya.
"Janji hanya berenang saja?" Ratih akhirnya menanggapi.
"Ya hanya berenang saja. Saya tak akan melakukan sesuatu yang tidak engkau inginkan." Broto bersorak-sorai dalam hati sewaktu tangan Ratih bergerak mengusap dan menanggalkan kancing-kancing blus putihnya dan meloloskan blus itu dari bahu dan lengannya. Lalu perlahan dia raih kaitan BH-nya di punggung dan kedua buah dadanya seperti meloncat sewaktu bra itu tersingkir. Mata mereka masih bertatapan sewaktu Ratih berdiri menanggalkan sepatu hak tingginya dari kedua kaki lalu meloloskan rok span mininya sampai tak selembar benangpun lagi yang menutupi tubuh elok padatnya.

Duhhh Par Broto mereguk airliur melihat keelokan yang bagaikan peri kahyangan itu. Belum pernah di melihat perempuan seelok ini. Dan nafas Ratih juga tersengal-sengal, dia tahu dia kini memasuki dunia yang belum pernah dia masuki. Yang menandai pengkhianatannya pada suami. Mukanya merah padam, tetapi dia sudah melangkah. Dia tidak akan mundur lagi.

Telanjang bulat dia cecahkan kaki ke kolam dan melangkah masuk. Dia minum airnya yang segar sereguk kemudian menyelam ke dasar kolam alami itu. Ketika muncul kembali ke permukaan Pak Broto sudah berada di dekatnya, menarik dan merangkulnya. Lalu mulut mereka bertemu dalam satu lumatan panjang penuh kerinduan. Ratih akhirnya melepaskan diri dari lumatan itu dan berbalik hendak menjauh, tetapi Pak Broto menangkapnya lagi dari belakang. Air kolam itu hanya setinggi dada dari dasar. Diremasnya kedua bukit dada Ratih. Dikecup dan dihirupnya tengkuknya, lalu lehernya, lalu mulut mereka bertemu dan berlumatan lagi. Lalu tangan Pak Broto mengusap paha dan meremas gundukan bukit di selangkangannya.

Bagai buaya menerkam mangsa, Pak Broto menyeret Ratih ke pinggir kolam yang berpasir halus. Dibaringkannya tubuh sexy indah itu disana lalu dia himpit dengan tubuhnya. Diterkamnya lagi payudara Ratih, diciumnya mata, kening, pipi, hidung, dagu dan dilumatnya lagi mulut perempuan sangat cantik itu. Pak Broto lapar dan dahaga sekali. Sudah begitu lama dia disiksa oleh isterinya, perempuan frigid yang tak peduli suami itu. Badai nafsu syahwatnya bergelora. Ratih merasakan dahsyatnya badai itu yang juga menyebabkan dia hanyut dilanda luapan birahi-nya sendiri. Tubuhnya menggelepar di bawah tindihan badan Pak Broto yang kekar liat dan jantan. Dan dalam hujan lumatan, sedotan dan pitingan Pak Broto di pasir halus pinggir kolam, Ratih yang tersengal, tergolek seperti menjangan yang mengerti bakalan jadi daging santapan dalam terkaman buaya lapar, menekuk lututnya ke atas mengangkangkan paha, membuka gerbang benteng pertahanannya menyerahkan diri. Dan dengan penisnya yang perkasa berbonggol besar itu Pak Broto mendobrak masuk ke liang vagina Ratih yang sudah digenangi lendir birahi, mereguk habis nektar dan madu kenikmatan yang ada di sana.

"Duhh enaknya Ratihh .. duhh nikmatnya sayang .. duhh lezatnya..., Pak Broto terengah-engah terus juga memompa dan mengocok tak henti-hentinya. Dan Ratih merintih dengan bola mata terbalik-balik menahan nikmat bonggol penis besar dan panjang yang lagi dihisap-hisap oleh liang kewanitaannya. Hampir satu jam mereka bertempur dengan posisi yang sama sampai tubuh Ratih mengejang disusul segera oleh Pak Broto. Keduanya orgasme besar susul menyusul.

Keduanya makan siang di warung nasi sederhana sekitar 2 kilometer dari tempat itu. Sekalipun demikian mereka makan lahap. Jam kantor hampir berakhir karena itu Ratih mengira mereka akan pulang sehabis makan. Tetapi Pak Broto menyetir kembali lagi ke villa itu, katanya ada yang lupa dia teliti. Dan sesampai di dalam Pak Broto menarik Ratih ke kamar yang ada kasur busanya.
"Pak sudah sore, sudah jam-nya pulang", rengek Ratih manja hendak melepaskan tangannya. Tapi Pak Broto sudah mulai menanggalkan kancing blusnya.
"Pak, suamiku selalu marah kalau aku terlambat pulang kantor", rengeknya lagi ketika Pak Broto membuka sangkutan BH di punggungnya.
"Kita segera pulang sayang. Sebentar saja."

Ternyata bukan hanya sebentar. Mereka bersetubuh lagi mengharungi kenikmatan tiga jam penuh tak henti-henti dengan berbagai posisi. Dan Pak Broto baru melihat ganasnya birahi Ratih kalau dia membiarkan perempuan itu memegang kendali di atas dengan posisi menungganginya. Ratih menjerit dan melolong sewaktu mereka berdua tiba serempak dan terhempas di ujung telaga kenikmatan dengan nafas tersengal-sengal dan tulang bagaikan copot.

Sejak itu kehidupan rumahtangga Ratih kembali tenteram. Suaminya tidak lagi terlalu pencemburu. Dia kini sudah lebih berjiwa besar dan berpikiran lapang. Apalagi karena zaman berubah, yang dulu di atas sekarang di bawah, yang dulu di bawah ganti di atas, suaminya sekarang pegang posisi kepala dan lahan basah di kantornya. Sebab itu pulang kantor wajahnya selalu berseri-seri. Yang tidak diketahui Ratih adalah bahwa suaminya juga berselingkuh menyetubuhi keponakannya Arini hampir setiap malam. Itulah Dunia, Bro.

TAMAT
Read More

Birahi Dan Jilbab



Ini ceritaku entah berapa bulan lalu ketika sore aku aku sedang menghabiskan waktu selepas bekerja disebuah mall dijakarta. Penat bekerja seharian dan jalanan yang sangat macet membuatku untuk rilex sebentar kesebuah pusat perbelanjaan sekedar untuk minum kopi. Akupun memesan sebuah kopi dan duduk disebuah sudut restoran.

Sambil minum aku menikmati pemandangan mall yang sungguh berbeda dari kantorku. Sangat nyaman rasanya, tapi pandanganku beralih sekitar 2 meja di depanku, duduk dua orang siswi SMU lengkap dengan baju seragamnya. Mereka tertawa-tawa ceria. Setelah kuperhatikan lebih seksama lagi, ternyata mereka sungguh manis, dan astaga ternyata mereka kembar.

Sekilas aku tak bisa membedakan antara 2 gadis remaja itu. Dua-duanya berwajah cantik, putih, dan mulus. Sungguh wajah yang enak dpandang. Selain itu keduanya juga punya tubuh mungil, dengan dada yang tidak begitu besar namun montok dan menantang yang mereka coba sembunyikan dibalik seragam SMU lengan panjang yang agak longgar dengan jilbab tipis yang tidak terlalu panjang namun cukup menutup buah dada mereka, lengkap dengan rok panjang abu2nya.

Uhhh sungguh gadis2 berjilbab yang mungil dan sangat menggemaskan.entah kenapa aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajah dan payudara kedua gadis berjilbab tersebut tanpa kusangka salah satu gadis itu melihatku., tampaknya dia tau kalau daritadi aku sedang menikmati tubuhnya, lalu dia tersenyum padaku.

Ah kesempatan pikirku, lalu kudekati saja meja mereka. “Selamat siang nih adik-adik, lagi pada ngapain nih ??” tanyaku. “Siang juga om..” jawab mereka bersamaan sambil tersenyum. “Lagi iseng-iseng aja om, abis dari sekolah” jawab yang satu. “Om boleh duduk disini ga ?” tanyaku dengan sopan. “boleh donk om, silakan” jawab yang satu lagi. “Om boleh kenalan kan ??” tanyaku. “Hihi…iya boleh donk om…” jawabnya “Aku gina, yang ini saudaraku gita” jawabnya sambil ternsenyum.

Setelah kuperhatikan kedua gadis berjilbab ini mengenakan aksesoris yang lumayan mahal dari bros untuk peniti jilbab mereka, sampai cincin, gelang, jam tangan bahkan handpone seri terbaru. Wah keliatannya mereka betul2 anak2 dari kalangan atas. “Kalian saudara kembar kan ?? berapa nih usianya ??” tanyaku penasaran. “Iya om… kita sekarang 16 tahun sebentar lagi 17 tahun” “Oooh…udah gede-gede ya” kataku sambil melirik payudara gina, uh penisku perlahan lahan mengeras, membayangkan bisa meremas2 empat buah payudara dibalik jilbab gadis gadis ini. “ya iyalah om, kan udah sma” jawab gita yang tak sadar apa sebenarnya yang aku maksud. “kalian nggak pulang, udah sore begini masak gadis2 cantik seperti kalian masi blum pulang” “om bisa aja ah, masi mau minum2 dulu om bentar lagi juga pulang” jawab gina sambil ngobrol kuperhatikan kedua gadis ini, walaupun kembar namun aku mulai bisa membedakan antara gina dengan gita.

Gina yang berusia lebih tua beberapa menit dari gita ini memiliki buah dada yang sedikit lebih besar dari adiknya.selebihnya tak ada perbedaan. “ ah seandainya bisa kutelanjangi kedua gadis berjilbab ini, apa mungkin rasa jepitan vagina 2 orang saudara kembar berbeda yah” kataku dalam hati yang sudah penuh nafsu. “Kalian udah punya pacar belum ??” tanyaku. Cerita sex berjilbab “gina udah tuh om, nama pacarnya andi, hihi…” “Iiih….apaan sih git, dia tuh cuma temen deket aja juga…” katanya malu kulihat ada yang aneh dengan kedua remaja berjilbab ini.

Mengapa sepertinya sangat mudah akrab dengan orang yang belum dikenal seperti aku. Aku mulai berpikir sepertinya dua gadis ini bisa kupakai malam ini. Akupun mulai mengeluarkan jurus mautku. “Kalian udah pernah pacaran kan ?” “Iya udah Om…tapi ya gitu deh namanya juga anak sma.” jawab gita “Umm tapi maaf nih yah, kalian udah pernah begitu belum ??” tanyaku sambil tersenyum nakal.

Gina sedikit kaget “begitu gimana om??” “umm begini.. kayak ciuman pelukan, dan main2 itu sama pacar kalian belum” Sejenak mereka kaget dengan pertanyaanku lalu gita balas menjawab “Iiiih…om apaan sih…kok nanyanya begituan” “Ya kan om mau tau ??” Mereka terdiam sejenak kemudian saling berbisik. “Emang bener om mau tau ???” tanya gina menggoda. “ya iya dong dik gina yang cantik” kataku sambil mengedipkan mata sepertinya mereka sadar maksud gerak gerikku, lalu dengan tersenyum nakal gita menjawab. “om, kalau mau kita bisa jalan2 sama om tapi kaloo…” gita berhenti berbicara lalu mengambil handponnya dan mengetik lalu memberikan handponnya padaku.

Astaga pikirku, inilah saatnya. Saat yang dari tadi kunantikan. Gita ternyata meminta sejumlah uang dan persyaratan. Kesempatan ini tak boleh kulewatkan. Akupun tersenyum lebar dan jantungku semakin berdegup kencang. Tiba2 aku tersadar suatu hal “eh maaf yah gina, gita, kalo kalian mau nemenin om kok kenapa kalian memakai jilbab” “oh ini, ini kan ketentuan wajib disekolah harus pakai jilbab om” jawab gina oh aku baru menyadari segala sesuatunya, kenapa menjelang malam hari kerja kedua gadis berjibab ini masi dipusat perbelanjaaan, kenapa mereka memakai barang2 mahal, kenapa mereka mudah sekali untuk diajak ngobrol sampai ke hal2 yang nakal. “ok kalo gitu yuk kita pergi, om ke atm dulu ngambil uang saku untuk gadis2nya om” kataku sambil mengedipkan mata yang dijawab dengan sedikit tawa dan tatapan nakal.

Sekitar jam 6 sore, aku bersama kedua gadis berjilbab ini keluar dari mall dan menuju sebuah atm dibasement mall tersebut. Ternyata basement tersebut agak sepi, hanya berisi mobil2 dan beberapa supir, tukang parkir dan satpam yang sempat memandangku iri, karena aku yang asyik bercanda dengan kedua gadis berjiblab ini.

Atm tersebut ternyata cukup tertutup, dengan ruangan yang cukup besar. Akupun mulai mengakses mesin tersebut sambil berbincang2 dengan kedua gadis berjilbab ini. Sambil memencet tombol2 aku lirik keadaan diluar, tampaknya posisiku cukup tertutup dan tak ada orang yang melihat, ah aku yang sudah tak tahan dari tadi mulai melancarkan aksiku.

Kedua gadis berjilbab ini berdiri dikanan kiriku, sambil menunggu mesin atm bekerja, aku tarik kedua tanganku kebelakang lalu meremas2 kedua buah pantat gina dan gita yang kenyal itu. “ iihh om nakal, masi dibasement juga” jawab gita dan sebuah cubitan kecil dipinggangku oleh gina. “Iya deh iya deh om nggak nakal” jawabku sambil menarik tanganku dari pantat kedua gadis ini, lalu kurangkul pinggang kedua gadis berjilbab ini dan menarik mereka kearah tubuhku, uhhhh payudara payudara dibalik jilbab kedua gadis berjilbab ini sungguh sama kenyal dan nikmatnya. “ihhh si om ini nakal banget sih” kata mereka dengan senyum manja.

Lalu tanganku mulai meraba naik kepunggungnya lalu bergeser masuk keketiak mereka menyelusup kebelakang jilbab mengikuti alur bh mereka dan menggenggam payudara payudara gadis gadis ini yang tidak bersentuhan dengan dadaku.” iiiiihh si ooomm daritadi bandel banget sihhh” kata gina sambil kedua gadis ini mencoba melepaskan diri dari genggaman tanganku pada buah dada mereka. “duh gina gita, jangan begitu dong, ini uangnya” kataku ketika tiba2 mesin atm tersebut mengeluarkan uang beberapa juta rupiah” akupun mengambil uang tersebut lalu memperlihatkan uang tersebut kepada mereka, tampaknya kali ini mereka luluh dan mata mereka tampak berbinar2 melihat uang yang cukup banyak tersebut dan mulai tersenyum genit.

Akupun dengan nakalnya menyampirkan jilbab gina dan gita kepundaknya lalu membuka 3 buah kancing paling, dan kulihat yang daritadi membuat penisku sangat keras, empat buah payudara gadis smu yang sangat menggemaskan terbungkus bra yang sangat sexy dengan jilbab yang menutupi kepala mereka, akupun menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu rupiah kedalam bra mereka sambil merasakan kenyalnya payudara mereka lalu aku lanjutkan dengan meremas2 payudara montok kedua gadis ini. “uhhhh, dada gina lebih besar sedikit tapi sama nikmatnya dan sama cantiknya dengan gita, om udah bener bener nggak kuat nih, ini uangnya dp dulu yah nanti kalo udah selese nemenin om semua uang ini boleh kalian miliki” kataku dengan penuh nafsu.

Gita dan ginapun hanya tersenyum genit sambil keenakan menikmati remasan demi remasan dan plintiran pada payudara dan putting mereka. Tanpa disadari ada orang mengetuk pintu atm. Kami bertigapun kaget bukan kepalang, aku baru menyadari ada orang antri menunggu dari tadi.

Akupun segera menarik kedua tanganku dari payudara mereka, gita dan ginapun kaget luar biasa dan langsung mengancingkan kembali baju mereka dan menjulurkan jilbab mereka untuk menutupi buah dada montoknya. “ih om si, untung nggak dibuka pintunya kan malu om” kata gita “iya deh maaf, tapi om udah nggak kuat nih, kita cari tempat yuk nanti disambung lagi deh ditempat om” kataku “ih si om, kita cantik sih jadi om nggak kuat deh” kata gina dan disambut tawa mereka cekikian. “yaudah, yuk, eh ayo gandeng tangan om dong” bisikku manja kekeduanya kamipun keluar dari kotak atm yang sudah ditunggu 3 orang yang mengantri dari tadi.

Mereka tampak kesal namun agak kaget ketika melihat seorang lelaki digandeng dua orang gadis smu kembar yang masih segar dan berjilbab. Ah biarin ajah, emang gua pikirin, akupun menarik kedua daun muda yang sungguh menggemaskan ini kesudut lapangan parkir tempat mobilku berada yang jauh dari tempat tunggu supir dan satpam. Sambil berjalan kedua lengan atasku merasakan lembutnya bagian luar buah dada gina dan gita yang terus bersenggolan dengan tanganku yang mereka rangkul.

Aduh sungguh nikmat rasanya, batang penisku semakin tak kuat ingin segera menikmati kedua gadis kembar ini. Gedung parkir di mall ini hanya setengah mobil kebawah yang tertutupi tembok, selebihnya hanya ditutupi oleh kawat2 besi sehingga walaupun gelap namun samar2 bisa terlihat dari luar gedung parkir.

Ide gilapun muncul dikepalaku aku akan menikmati kedua gadis berjilbab ini ditempat terbuka sebelum nanti kutelanjangi, kumandikan dan kusabuni setiap inci tubuh mereka dirumahku nanti. Setelah sampai disudut tempat mobilku diparkir akupun mendorong perlahan kedua gadis berjilbab ini hingga bersandar ditembok dengan kedua tanganku menekan sebuah payudara gina dan gita. “gina, gita, kita main disini dulu yuk, kan gelap nggak ada orang, om udah nggak tahan nih, nanti uang jajannya om tambah deh, tapi nanti malem main kerumah om dulu kita main2 lagi, besok pagi baru om anter kesekolah, gimana?” gita dan gina hanya berpandangan lalu salah satunya mengangguk, “boleh om tapi ati2 yah kalo ada orang, kan malu om diliatin orang” akupun tersenyum dan tanpa basa basi langsung kusampirkan jilbab gina dan gita, langsung kubuka kancing2 bajunya dan kubuka seragam sekolah mereka, dan langsung kulepas bra mereka, kulemparkan bra mereka kejok belakang mobilku lalu kupakaikan kembali baju seragam mereka tanpa kukancingi lagi, sungguh indah tubuh saudara kembar ini.

Dengan jilbab putih yang masih mereka kenakan dan payudara yang putih dan empat buah putting berwarna coklat yang kecil sungguh indah sekali, akupun tak mampu menahan nafsuku, segera kumainkan empat buah payudara gadis kembar ini bergantian, dari remasan, plintiran pada puting2 payudara mereka hingga hisapan hisapan dan gigitan2 kecil membuat mereka menggelinjang mendesah menikmati permainanku. Lalu kuhentikan permainanku, kuperintahkan kedua gadis ini untuk mengangkat kedua roknya perlahan.

Pelan2 kulihat kaki mungil mereka yang dibungkus sepatu dan kaus kaki menutup betis mereka, lutut, dan aww, paha paha yang putih dan mulus lalu kemaluan yang masih tertutup celana dalam putih yang tipis. Aku sungguh tak kuat, langsung kutarik turun celana dalam mereka dan kupandangi vagina gina dan gita yang kecil karena umur mereka yang masih 16 tahun.

Kuambil celana dalam mereka dan kulemparkan ke jok belakang mobil. Lalu kututup pintu mobilku. “ lho om kok kita nggak dimobil om ajah, kan takut ada yang ngeliat om” kata gita khawatir dengan keadaanya yang berjilbab namun baju seragam yang terbuka yang memperlihatkan dua buah payudaranya yang menggantung sambil mengangkat rok sampai pinggang yang memperlihatkan vaginanya. “Nggak papa gina, nanti kamu tau, jauh lebih nikmat rasanya kalo ditempat begini lho” kataku sambil menarik kedua gadis itu dan kusuruh duduk dikap depan mobilku yang posisinya didinding lapangan parkir, yang hanya tertutup jeruji2 besi dan tampak dari luar samar2. “iii om malu” jawab gita sambil duduk dan menutup rok dan bajunya sambil melipat tangan didadanya.

Tampak didepanku dua orang gadis kembar berjilbab yang siap kunikmati beberapa saat lagi, disebuah gedung parkir, dan gilanya lagi walaupun agak gelap tapi pasti secara samar2 terlihat dari jalan raya diluar gedung. Tanpa memperdulikan ucapan gita akupun menarik kepala kedua gadis berjilbab ini dan mencium bibir merkea bersamaan, ah nikmat rasanya saat mencium mereka bersamaan.

Tampaknya mereka menyukainya, lalu tanpa basa basi kuangkat rok sekolah gina dan kujilat2 vaginanya, juga tangan kananku masuk kedalam rok diantara kaki gita dan mengelitik vagina dan klitorisnya sambil aku memuaskan kakaknya. Kedua gadis berjilbab ini hanya bisa menggelinjang dan mendesah pelan, perlahan nafsu mulai merasuki keduanya yang tampaknya sudah tak malu lagi dan mulai meremas remas payudara mereka sendiri. Kurasakan cairan mulai membasahi vagina kedua saudara kembar ini.

Akupun semakin tak tahan, langsung kubuka celanaku dan mengeluarkan penisku dan kumasukkan kedalam vagina gina sambil terus mengaduk2 vagina gita dengan 3 buah jariku. Ahh penisku serasa dipijit2 didalam vaginanya. Walaupun sempit tapi ketika mulai kusodok pelan2 serasa tak ada yang menghalangi, ternyata gina sudah tidak perawan lagi, begitujuga dengan gita yang sedari tadi pasrah penuh kenikmatan dengan tiga buah jariku divaginanya.

Akupun dengan cepat memajumundurkan penisku didalam vagina gina bergantian dengan gita. Wajah mereka yang terbungkus jilbab sungguh tampak menggemaskan membuatku semakin bernafsu meremas2 payudara2 mereka. Aku memerintahkan kedua saudara ini untuk menunduk dan bertumpu pada terali2 besi gedung parkir.

Kuangkat rok panjang mereka dan kulipat dan kuselipkan dipinggang mereka, sehingga dengan bebasnya aku bisa melihat pantat, vagina dan bagian kaki gadis gadis ini.Mungkin karnea kedua gadis kembar ini belum orgasme mereka tampak mau melakukan apa saja asalkan terus kuaduk2 vagina mereka. Mereka tak malu walaupun samar2 terlihat dari jalan raya didepan gedung parkir ini.

Akupun semakin bernafsu dengan menyodokkan penisku kedalam vagina gita dan gina bergantian dari belakang sambil kutarik jilbab mereka yang membuat mereka mendongak keatas sambil menikmati hentakan demi hentakan penisku dilubang vagina mereka secara bergantian. Tak lama kemudian gina merintih2 “om oomm remes payudaraku yang keras, terus masukin penisnya cepetan sedikit aku udah nggak tahan mau keluar” akupun yang memang penuh nafsu segera menuruti permintaan gina, kucengkram kedua payudaranya dari belakang, dan kupercepat hentakan penisku jauh lebih dalam ke lubang vaginanya yang membuat gina semakin menjerit2 kecil menikmatinya.

Tiba2 dari jauh kulihat seseorang haltebus yang mengarah kegedung parkir diseberang jalan tampaknya melihat adegan yang kulakukan, dan gina walaupuan daritadi merem melek menikmati permainanku menyadari ada seseorang yang ikut menikmati tubuhnya dari jauh. “om ada orang tuh dihalte ngeliatin kita, tapi aku udah nggak kuat om dikit lagi mau keluaarr.

Ah biarin ajaaaahhh…” jawabnya yang tampak semakin bernafsu karena dilihat orang tersebut. Akupun semakin bernafsu mempertontonkan adegan mesra ini keorang tersebut yang semakin membuatku terpacu.tiba2 “ahhhh ahhhh ahhh” gina merintih dan kurasakan vaginanya mengeluarkan cairan yang sangat banyak dan akhirnya gina terdiam lemas walaupun aku tetap memacu penisku kevaginanya.

Akupun menghentikan aksiku. “duh om udah nggak kuat, om lanjutin sama gita aja yah..” katanya dengan tersenyum penuh kepuasan. “Iyah nggak papa sayang,tapi kamu disini aja ya temenin om main dengan adikmu ini” kataku sambil menjulurkan rok gina sehingga menutupi bagian bawah tubuhnya lalu kubalikkan tubuhnya kucium mesra, dan kupandangi adiknya. “ihh omm kan udah sama kak gina tadi, aku dicuekin, daritadi udah nggak tahan om” katanya dengan cemberut nakal.

Ternyata walaupun payudara gita sedikit lebih kecil dari kakaknya, namun hasrat sexnya jauh melebihi kakaknya. “gita juga mau om, ayo cepet tu orang dihalte depan lagi ngeliatin, gita udah nggak tahann ayo omm cepettt” kata gita memelas. Wah ternyata adiknya jauh lebih agresif dan maniak dari kakaknya.

Akupun langsung menancapkan penisku kevagina gita dari belakang yang sudah memasang posisi menunduk dengan menumpukan tangannya pada jeruji besi didinding gedung parkir ini.sambil kugenjot vaginanya, kuremas2 payudara kiri gita dari belakang dengan tangan kiriku sementara tangan kananku kugunakan untuk memeluk gina sambil mencium bibirnya dan meraba2 payudaranya.

Tak disangka gita ternyata begitu exebisionis, dalam genjotanku dia melambaikan tangan dan tersenyum genit kepada lelaki yang menatap aksi kita dari tadi.akupun tak peduli terus saja kupermainkan vaginanya. Tapi lama kelamaan aku bosan dengan posisi ini, kubalikkan tubuh gita, dan kugendong lalu kududukkan ditepi kap depan mobil jeepku dan kusandarkan gina berdiri disampingnya, akupun melanjutkan aksiku menancapkan penisku kevagina gita sambil mencium dan menjilat jilat putting payudaranya bergantian dengan mencium bibir gina kakaknya, sambil tangan kiriku meremas2 payudara gina.

Ohhh sungguh berlipat2 rasanya menikmati tubuh dua orang gadis kembar yang masih mengenakan jilbab putih namun 4 buah payudara mereka terbuka bebas dan sedang kujamah, sedangkan vagina gita sedang kunikmati dengan penisku dan vagina gina sesekali kuremas2 dari balik rok yang kuangkat keatas.

Tak lama kemudian, gitapun mencapai titik puncaknya, dia menggelinjang dan mendongak keatas sambil memeluk kepalaku diantara dua buah payudaranya dengan erat dan tiba2 tiga kali kurasakan semprotan cairan didalam vagina gita bersamaan dengan semprotan spermaku didalamnya.. “aahahhchhhhh ommmm aku ahhhhh” jeritnya… ginapun hanya tersenyum melihat ulah adiknya yang sedang dalam titik puncaknya. Setelah beberapa saat kurapihkan pakaian kedua gadis kembar ini, kurapihkan rok mereka, lalu kukancingkan kembali baju mereka, kujulurkan lagi jilbab mereka menutupi payudara dan vagina yang kini tak mengenakan bh dan celana dalam. “Yuk kita belanja, kita nonton juga yuk, nanti kita lanjut lagi dirumah om yah” kataku genit.

Gina dan gita hanya tersipu malu. Lalu kedua gadis kembar ini kurangkul dan kuajak kedalam mall sambil dengan nakalnya kuraba payudara mereka yang kali ini dengan mudah kuplintir dari luar pakaian mereka putting yang menonjol dibalik bajunya, namun sengaja ditutupi jilbab mereka agar tak ketahuan, namun buah dada buah dada yang tak disanggah itu tampak lebih menggoda bergoyang goyang dibalik pakaian mereka walaupun sudah ditutupi jilbab, gesekan demi gesekan dan remasan tanganku dipayudara mereka sungguh nikmat, walaupun batang kemaluanku sudah lemas, tapi aku masih ingin menikmati tubuh gadis kembar berjilbab ini.

Kamipun masuk kedalam mall dan mulai jaga image, gina dan gita jalan disampingku dengan biasa2 saja agar tak terlalu menarik perhatian.. kamipun menuju bioskop dilantai atas dan membeli tiket film, tapi sebelum masuk ke bioskop, gita mengajak kakaknya ketoilet untuk membersihkan sisa2 cairan vagina dan spermaku yang masih membasahi vaginanya.

TAMAT
Read More