Thursday, August 31, 2017

Cemburu



Kantor yang semula berisik oleh saling ledek dan gurauan karyawan yang baru masuk kerja pagi itu mendadak sepi ketika Boss bertubuh tinggi tegap itu masuk. Seperti biasa dia tidak mengucapkan apa-apa terus saja berjalan ke ruang kantornya melewati Ratih.

Boss ini memang berbeda dengan boss-boss sebelumnya yang pernah dikirim kantor pusat untuk memimpin kantor cabang bank papan atas itu. Dari riwayat hidupnya Ratih tahu dia perwira militer yang dikaryakan. Orangnya pendiam dan dingin. Jarang bicara dan hampir tak pernah senyum. Bahkan terkesan angker sehingga karyawan segan, mulai pesuruh sampai kepala bagian. Dan dia berdisiplin. Datang tepat waktu dan pulang tepat waktu. Kerja ya kerja, tidak bermain-main, tidak bersenda gurau.
Tidak ada teguran atau peraturan tertulis mengenai hal itu, tetapi karyawan meneladani perilaku Boss. 

Seperti di bawah kepala sebelumnya, di bawah Boss yang baru enam bulan menempati pos-nya ini Ratih juga meneruskan posisi sebagai sekretaris. Posisi yang sebenarnya tidak begitu disukai Ratih karena citra buruk sosok sekretaris dimana-mana. Padahal kedudukan itu, sebagai sekretaris Boss-besar sebenarnya adalah posisi strategis di setiap kantor, pos dimana semua rahasia dan masalah kantor lewat di sana. Dari yang murni dinas seperti sampai yang menyangkut pribadi.

Telponnya berdering, ternyata Boss yang menelpon dari dalam.
"Ratih?", di telponpun suara itu terdengar berat dan berwibawa. "Tolong dicari di komputer peta penunjuk jalan ke villa real estate perusahaan PT Indra Bhakti yang di-foreclose".
"Baik Pak."
PT Indra Bhakti menghadapi masalah kekacauan finansial dan jatuh pailit, sehingga semua asetnya yang dijadikan agunan hutang jatuh ke tangan Bank tampat Ratih bekerja. Tidak lama Ratih mendapatkan peta penunjuk jalan itu di Internet dan mengirimnya ke mesin printer. Menunggu di mesin printer Ratih ingat lagi ucapan suaminya Armando Mengenai Pak Broto Boss-nya ini. Tuduhan keterlaluan. Suaminya tak tahu kenyataan baywa tak sedikitpun terlihat ada perhatian Pak Broto boss-nya padanya. Hubungan mereka murni hubungan kerja. Tak sedikitpun Pak Broto kelihatan berminat pada kecantikannya, pada dadanya yang busung dan pinggangnya yang ramping sehingga menonjolkan panggulnya yang bulat gempal berisi. Dan juga sama sekali tak terlihat minatnya pada karyawan cantik lainnya yang lebih muda dari Ratih. Berlainan sekali dengan dua kepala bagian yang digosipkan ada "affair" dengan sekretaris mereka masing-masing.

Beberapa menit kemudian Ratih sudah menyerahkan peta penuntun arah itu ke meja Pak Broto.
Pak Broto melihat ke peta dari mesin printer itu.
"Saya mau melihat sendiri villa ini, apakah tanahnya begitu luas sehingga harga agunannya sampai sampai sepuluh milyar? Siapa yang mengurus ini dulunya?" Ratih tidak menjawab, karena dia tahu pertanyaan itu tidak ditujukan kepadanya. Seisi kantor tahu ada permainan di sana oleh boss sebelumnya dan beberapa orang.
"Kamu berasal dari sekitar sini Ratih?"
"Iya Pak."
"Kata orang, desa asal orangtuamu di sekitar sini?"
"Agak jauh, Pak"
"Kamu bisa tahu berapa kira-kira harga tanah paling tinggi di daerah ini? Apakah 10 milyar dengan bangunannya menurutmu pantas?"
"Itu tergantung tempatnya, Pak. Kalau melihat titik lokasinya ini kayaknya tempat yang memiliki panorama indah di lereng gunung."
"Aku mau melihat sendiri tempat itu siang ini. Kamu mau ikut Ratih?" Ratih tahu itu bukan ajakan, itu perintah.
"Baik Pak."

Ternyata Pak Broto mau mengendara sendiri. Dia tidak membawa sopir. Dia berikan peta dari mesin printer itu ke Ratih yang duduk di sampingnya. Dan Ratih meletakkan tas tangan di pangkuan untuk menutup paha putihnya yang tersingkap karena tepi rok spannya bergeser ke atas saat duduk.

Mereka lebih banyak diam. Pak Broto dengan wajah suram memusatkan perhatian ke jalan, dan Ratih menunjukkan arah dimana mereka harus berbelok.
Diam-diam Ratih melirik laki-laki itu yang seperti tenggelam dalam lamunan selagi menyetir. Apakah dia bisa tersenyum? Selama enam bulan tidak pernah sekalipun dia melihat laki-laki yang tampang dan bentuk tubuhnya mirip pemimpin Irak Saddam Hussein ini tersenyum. Tetapi dia tahu Pak Broto tidaklah demikian angker kalau di tengah keluarganya. Dia lembut dan penuh rasa sayang kalau dengan anak-anaknya. Sangat kebapakan. Pernah anak-anaknya dibawa ke kantor, mereka dikenalkan dengan karyawan yang tidak terlalu sibuk satu persatu. "Ini Tante Ratih, salam dia. Perkenalkan nama kelian", katanya pada anak usia sembilan dan tujuh tahun itu sambil mengusap rambut mereka penuh kasih. Dan dia juga sabar dengan isterinya yang sering terdengar uring-uringan di telpon. Nada suaranya terus bernada membujuk, walau sesudah pembicaraan di telpon wajahnya sering bertambah muram.

"Kita belok dimana, Ratih?" Ratih tersentak dari lamunannya.
"Ohh ... di perempatan sesudah ini Pak, di lampu merah, belok ke kiri."

Dan mereka memasuki halaman real estate itu.
Wow alangkah indah bangunannya, terletak strategis di satu dataran di lereng bukit dengan latar gunung berapi dan hutan lebat yang menghijau. Ratih turun dan merasakan belaian angin gunung yang sejuk dan harum daun cemara. Halamannya penuh semak hias yang dipangkas rapi, pinus ramping dan bunga dahlia, gerbera, aster dan chryssant aneka warna yang merekah indah.

Ratih terpesona. Dia lihat Pak Broto juga takjub.
"Indah sekali", katanya seperti pada diri sendiri sambil memandang berkeliling.

Ratih mengeluarkan renjengan kunci dari tasnya dan mencari yang cocok dengan pintu depan lalu membukanya.

Villa itu sudah dikosongkan. Tidak ada perabot. Hanya beberapa peralatan masak di dapur dan di satu kamar mereka melihat ada kasur busa tak beralas di lantai, mungkin bekas tempat tidur orang yang ditugasi membersihkan rumah itu dan halamannya selama beberapa hari.

Ratih sebenarnya hendak menggunakan kamarmandi mau buang air kecil, tetapi ternyata air sudah tidak mengalir lagi. Mereka membuka pintu belakang dan kembali terkesiap oleh pemandangan yang luarbiasa cantiknya.

Dari bukit sekitar sepuluh meter dari pintu belakang air mengalir deras dari ketinggian membentuk kolam alami berair jernih bening dikitari batu-batu besar di satu sisi dimana limpahan air kolam telaga berpasir halus di dua tumpakan itu mengalir turun ke bawah tebing. Ikan-ikan kecil yang terlihat bermain gembira menunjukkan airnya sehat dan enak untuk diminum. Ratih mencari kemana air telaga itu mengalir turun di balik bebatuan.
"Pak saya kebelet pipis, mau buang air."
"Ya pipis saja, Ratih. Tak ada orang," laki-laki usia 50-an itu menjawab tanpa ekspresi, seakan yang mau pipis adalah anak umur lima tahun.
Dia melihat ke Pak Broto tetapi lelaki itu seperti tak acuh. Matanya terus saja mengamati, memeriksa setiap sudut.
Ratih berjalan melihat ke balik batu, ke arah air kolam itu mengalir turun dari tebing tetapi disana curam.
"Nanti kau jatuh disana Ratih", Pak Broto mengingatkan. Ratih tertegun, memang dia takut ke sana, tetapi tidak ada tempat lain dimana dia bisa jongkok tanpa terlihat oleh Pak Broto. Mata mereka bertemu, dan Pak Broto melihat wajah cantik itu merengut.

Ratih dongkol sekali. Si Boss ini seperti acuh saja. Sama sekali tak ada tanda dia berniat masuk kembali ke dalam rumah. "Oke kalau kamu menganggap saya anak umur lima tahun, saya juga bisa nganggap kamu anak umur lima tahun", teriaknya jengkel dalam hati sembari meloloskan celana dalam dari balik rok span mininya lalu melepasnya dari kedua kaki. Ratih lalu jongkok buang air kecil di pinggir kolam berpasir dimana air mengalir turun ke tebing, seakan Pak Broto yang menonton memang hanya bocah lima tahun yang ndak ngerti apa-apa.

Ratih belum sempat mengenakan kembali celana dalamnya sewaktu dia mendengar pertanyaan itu.
"Berapa kali kamu disetubuhi suamimu setiap minggu Ratih?"
"Setiap malam", kata Ratih acuh tak acuh. Padahal sudah dua minggu dia tidak tidur dengan suaminya karena cekcok terus.

Boss-nya itu, yang sekarang dia tahu ternyata buaya juga yang hanya berlagak jinak, diam. Dan sewaktu menengok, Ratih tercengang karena lelaki itu sedang menanggalkan jas, dasi dan kemejanya.
"Aku gerah sekali, kepingin berenang menikmati air segar kolam ini Ratih", katanya. "Bening sekali airnya." Lalu dia melepas sepatu, kaus kaki, celana, kaus oblong dan Ratih hampir-hampir tak percaya. Boss-nya itu, yang selama ini dia hormati dan sangat disegani orang sekantor, meloloskan juga celana dalamnya, melepaskan penisnya yang tegak mengacung dari kungkungan celana dalamnya itu. Dan matanya terbelalak melihat batang ****** yang besar itu. Sekitar satu setengah ukuran ****** suaminya.

Tanpa melihat ke Ratih Pak Broto masuk ke kolam, membenamkan kepalanya dan menyelam ke dasar kolam. "Duhh segar sekali airnya Ratih", teriaknya ketika muncul ke permukaan di depan Ratih yang duduk mencangkung. "Ayo mari sama-sama mandi. Ayo." Ratih tidak menjawab, dia diam saja merengut dan membuang pandangan ke lereng bukit.
"Ayo Ratih!", Pak Broto berenang mendekat. "Ayo" . Dia berenang lagi menjauh. "Ayo Ratih". Ratih masih tetap diam membuang pandangan. Dia berenang mendekat lagi. "Ratih!", panggilnya dengan nada membujuk. Matanya menembus celah kangkangan Ratih yang masih meremas celana dalam di tangannya, jongkok di pinggir kolam. Mengintai memek Ratih yang tembem berbulu halus tapi lebat.
"Ayo Tih, tanggalkan pakaianmu. Tak ada yang melihat, hanya kita berdua saja."
"Ayo Tih, Ratih." Nafas Ratih sesak. Sebenarnya sudah lama sejak Pak Broto menjadi boss-nya dia mengagumi kekekaran dan kekokohan tubuh laki-laki itu yang seperti Pak Saddam Hussein diktator Irak itu. Sudah lama dia mencoba mengira-ngira berapa kira-kira panjang penisnya dan sekarang dia sudah melihat penis itu. Wauwww benar-benar membuat nafasnya sesak. Dan laki-laki jantan itu sekarang berenang telanjang bulat di depannya. Tetapi saat itu ucapan suaminya yang menyakitkan karena cemburu buta itu terdengar lagi dan juga jawaban kemarahan dari dirinya dalam menangkis. Dia malu pada diri sendiri. Pada kemunafikannya. "Ayo Ratih, tanggalkan pakaianmu. Perlihatkan bentuk tubuhmu yang sexy itu. Selama ini aku hanya membayangkan saja dalam khayalan. Aku mau melihat yang sebenarnya Ratih." Ratih menggeleng.
"Ini akan menjadi rahasia kita berdua saja Ratih, tak seorangpun yang akan tahu."
Sekarang Ratih mengalihkan pandang matanya dari lereng tebing ke mata Pak Broto.
"Please Ratih," Pak Broto penuh harap. Dia melihat harapan di mata Ratih yang menatap matanya.
"Janji hanya berenang saja?" Ratih akhirnya menanggapi.
"Ya hanya berenang saja. Saya tak akan melakukan sesuatu yang tidak engkau inginkan." Broto bersorak-sorai dalam hati sewaktu tangan Ratih bergerak mengusap dan menanggalkan kancing-kancing blus putihnya dan meloloskan blus itu dari bahu dan lengannya. Lalu perlahan dia raih kaitan BH-nya di punggung dan kedua buah dadanya seperti meloncat sewaktu bra itu tersingkir. Mata mereka masih bertatapan sewaktu Ratih berdiri menanggalkan sepatu hak tingginya dari kedua kaki lalu meloloskan rok span mininya sampai tak selembar benangpun lagi yang menutupi tubuh elok padatnya.

Duhhh Par Broto mereguk airliur melihat keelokan yang bagaikan peri kahyangan itu. Belum pernah di melihat perempuan seelok ini. Dan nafas Ratih juga tersengal-sengal, dia tahu dia kini memasuki dunia yang belum pernah dia masuki. Yang menandai pengkhianatannya pada suami. Mukanya merah padam, tetapi dia sudah melangkah. Dia tidak akan mundur lagi.

Telanjang bulat dia cecahkan kaki ke kolam dan melangkah masuk. Dia minum airnya yang segar sereguk kemudian menyelam ke dasar kolam alami itu. Ketika muncul kembali ke permukaan Pak Broto sudah berada di dekatnya, menarik dan merangkulnya. Lalu mulut mereka bertemu dalam satu lumatan panjang penuh kerinduan. Ratih akhirnya melepaskan diri dari lumatan itu dan berbalik hendak menjauh, tetapi Pak Broto menangkapnya lagi dari belakang. Air kolam itu hanya setinggi dada dari dasar. Diremasnya kedua bukit dada Ratih. Dikecup dan dihirupnya tengkuknya, lalu lehernya, lalu mulut mereka bertemu dan berlumatan lagi. Lalu tangan Pak Broto mengusap paha dan meremas gundukan bukit di selangkangannya.

Bagai buaya menerkam mangsa, Pak Broto menyeret Ratih ke pinggir kolam yang berpasir halus. Dibaringkannya tubuh sexy indah itu disana lalu dia himpit dengan tubuhnya. Diterkamnya lagi payudara Ratih, diciumnya mata, kening, pipi, hidung, dagu dan dilumatnya lagi mulut perempuan sangat cantik itu. Pak Broto lapar dan dahaga sekali. Sudah begitu lama dia disiksa oleh isterinya, perempuan frigid yang tak peduli suami itu. Badai nafsu syahwatnya bergelora. Ratih merasakan dahsyatnya badai itu yang juga menyebabkan dia hanyut dilanda luapan birahi-nya sendiri. Tubuhnya menggelepar di bawah tindihan badan Pak Broto yang kekar liat dan jantan. Dan dalam hujan lumatan, sedotan dan pitingan Pak Broto di pasir halus pinggir kolam, Ratih yang tersengal, tergolek seperti menjangan yang mengerti bakalan jadi daging santapan dalam terkaman buaya lapar, menekuk lututnya ke atas mengangkangkan paha, membuka gerbang benteng pertahanannya menyerahkan diri. Dan dengan penisnya yang perkasa berbonggol besar itu Pak Broto mendobrak masuk ke liang vagina Ratih yang sudah digenangi lendir birahi, mereguk habis nektar dan madu kenikmatan yang ada di sana.

"Duhh enaknya Ratihh .. duhh nikmatnya sayang .. duhh lezatnya..., Pak Broto terengah-engah terus juga memompa dan mengocok tak henti-hentinya. Dan Ratih merintih dengan bola mata terbalik-balik menahan nikmat bonggol penis besar dan panjang yang lagi dihisap-hisap oleh liang kewanitaannya. Hampir satu jam mereka bertempur dengan posisi yang sama sampai tubuh Ratih mengejang disusul segera oleh Pak Broto. Keduanya orgasme besar susul menyusul.

Keduanya makan siang di warung nasi sederhana sekitar 2 kilometer dari tempat itu. Sekalipun demikian mereka makan lahap. Jam kantor hampir berakhir karena itu Ratih mengira mereka akan pulang sehabis makan. Tetapi Pak Broto menyetir kembali lagi ke villa itu, katanya ada yang lupa dia teliti. Dan sesampai di dalam Pak Broto menarik Ratih ke kamar yang ada kasur busanya.
"Pak sudah sore, sudah jam-nya pulang", rengek Ratih manja hendak melepaskan tangannya. Tapi Pak Broto sudah mulai menanggalkan kancing blusnya.
"Pak, suamiku selalu marah kalau aku terlambat pulang kantor", rengeknya lagi ketika Pak Broto membuka sangkutan BH di punggungnya.
"Kita segera pulang sayang. Sebentar saja."

Ternyata bukan hanya sebentar. Mereka bersetubuh lagi mengharungi kenikmatan tiga jam penuh tak henti-henti dengan berbagai posisi. Dan Pak Broto baru melihat ganasnya birahi Ratih kalau dia membiarkan perempuan itu memegang kendali di atas dengan posisi menungganginya. Ratih menjerit dan melolong sewaktu mereka berdua tiba serempak dan terhempas di ujung telaga kenikmatan dengan nafas tersengal-sengal dan tulang bagaikan copot.

Sejak itu kehidupan rumahtangga Ratih kembali tenteram. Suaminya tidak lagi terlalu pencemburu. Dia kini sudah lebih berjiwa besar dan berpikiran lapang. Apalagi karena zaman berubah, yang dulu di atas sekarang di bawah, yang dulu di bawah ganti di atas, suaminya sekarang pegang posisi kepala dan lahan basah di kantornya. Sebab itu pulang kantor wajahnya selalu berseri-seri. Yang tidak diketahui Ratih adalah bahwa suaminya juga berselingkuh menyetubuhi keponakannya Arini hampir setiap malam. Itulah Dunia, Bro.

TAMAT


EmoticonEmoticon